Sesuai perkataannya, Maruta benar-benar kembali mengajak Edsel bertemu Aeera, bahkan formasi mereka kembali lengkap dengan kehadiran Harsa dan Nami yang juga berkunjung di waktu yang sama. Jika Harsa tidak memiliki kegiatan di waktu itu, maka Nami sengaja menukar shift kerja dengan rekannya.
Setelah berjalan-jalan sebentar di taman rumah sakit, Aeera kembali ke kamar rawat yang sudah penuh oleh teman-temannya. Ia dan Maruta juga dikejutkan oleh munculnya dua orang tak terduga di sana, Gama dan Anya. Benar-benar lengkap manusia membingungkan itu.
"Aku ke sini untuk meminta maaf pada Aeera. Jika kamu melarang kali ini, aku tidak peduli. Urusanku murni karena permintaan maaf, bukan yang lain." Gama menatap Maruta tajam, mencoba tak terintimidasi oleh tatapan Maruta yang tak kalah tajamnya.
Mereka berdua tahu keadaan Aeera karena Anya yang tak henti menghubungi Maruta sejak kemarin. Mengetahui Aeera pergi begitu saja, Anya sudah menyadari akan ada hal yang tidak diinginkan terjadi.
Tak mau berdebat atau menambah masalah, Maruta memilih bungkam. Lagi pula, tidak mungkin pula ia memancing kekesalan Aeera yang tengah tersenyum lebar sambil melemparkan sorot harap padanya untuk membiarkan mereka berdua tetap di sana.
Pada akhirnya, Maruta hanya bisa mengembuskan napas panjang dan beralih ke sofa, duduk di sana bersama Harsa.
"Udah aku maafin. Lagi pula, harusnya aku yang berterima kasih karena kamu buat aku sadar kalau aku udah kelewat bates dengan tanya hal kayak gitu ke kamu. I lost my control of tongue, sorry." Aeera mengucapkannya dengan santai, tetapi sarat penyesalan.
"Tapi ... kamu bener nggak apa kan, Ra?" timpal Anya yang berdiri di samping ranjang perempuan itu.
Aeera mengedikkan bahu. "Santai aja, aku memang sering lepas kendali kayak kemarin kalau merasa terancam. It's my fault."
Gama mengangguk kecil. Baginya, jika Aeera sudah berkata begitu, maka masalah sudah selesai. Untuk apa memperpanjangnya? Ia tidak mau ribet.
"Oh iya, karena kalian berdua ada di sini, mau main?" Sambil diangkatnya sebelah alis tinggi, Aeera menekankan dua kata terakhir dari pertanyaannya. Ia benar-benar berharap logika jentera kali ini membawanya kembali.
Gama dan Anya saling pandang, mereka paham apa yang dimaksud Aeera, sangat paham. Namun, mereka khawatir kejadian kemarin terulang.
"Turuti saja," sahut Maruta, membuat semuanya mengalihkan atensi padanya. Lelaki itu melipat tangan di depan dada. "Anggap saja permainan terakhir sebelum aku benar-benar menarik Aeera dari kalian."
"Rut!" Aeera memprotes. Jujur, ia terkejut dengan ucapan lelaki itu, begitu juga dengan Harsa, Edsel, dan Nami yang sudah membulatkan mata. Sakit hati? Entalah, Aeera tidak tahu apa itu. Satu hal yang ia sadari, ternyata Maruta memiliki kesamaan dengan mendiang ayahnya, otoriter.
Helaan napas panjang lolos dari bibir Gama. "Baik, aku terima."
Selesai sudah, setelah ini benar-benar selesai. Maruta sudah seserius itu.
"Ajukan pertanyaan, tuntaskan rasa penasaranmu sekarang, dan sudahi semuanya, Aeera."
Harsa yang berada di samping Maruta, memandang lelaki itu tak habis pikir. Ia benar-benar tak paham jalan pikiran Maruta kali ini. Maruta yang dikenalnya seakan berubah menjadi orang lain dalam semalam dan itu sungguh mengejutkan.
"Aku tahu kamu punya alasan pasti untuk ini, Rut," gumam Harsa, yang jelas terdengar oleh Maruta.
Tanpa membalas, Maruta sama sekali tak terganggu dengan semua tatapan yang tertuju padanya. Fokusnya hanya satu, Aeera. Sementara di tempatnya, perempuan itu tampak geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Logika Jentera (Completed)
Ficção GeralKekecewaan memang membawa Aeera pada titik "menihilkan" Tuhan. Namun, bagaimana jika ia bertemu dua sosok yang sukses menyudutkannya habis-habisan perihal penyangkalannya, mengenalkan logika jentera, berputar tanpa henti? Sedang, Maruta dan kawan-ka...