"Ini sama sekali nggak lucu, Rut."
Di tempatnya, Edsel tertegun mendengar ucapan lirih Aeera. Nada suara perempuan itu sarat kekecewaan, ia bisa mendengarnya dengan jelas. "Ra, are you okay?"
Tangan Aeera terkepal kuat-kuat di sisi tubuh, sementara matanya menatap Maruta dengan nyalang. Ia juga tidak tahu kenapa bisa semarah ini, mungkin karena semuanya terlalu tiba-tiba. Beberapa saat kemudian, kepalan tangannya mengendur. Sebuah senyum lebar pun lantas tersungging di bibirnya. "I am okay, Sel. But, mungkin Maruta dalam masalah sekarang."
Helaan napas panjang lolos dari bibir Maruta. Lelaki itu menunduk sejenak, lantas terkekeh dan berujar, "Hidupku memang selalu dikelilingi masalah, Aeera. Itu bukan suatu kejutan lagi. Tidak mau duduk?"
Mau tak mau, tentu saja Edsel dibuat kebingungan. Dibilang canggung, tidak juga. Kedua temanya itu memang sering terlibat adu mulut dan terjebak di situasi serupa. Mereka sama-sama tak tertebak. Hal itu pula yang membuat Edsel lebih baik diam.
"Aku pergi." Aeera berbalik badan dan beranjak dengan langkah santai. Meski begitu, ia sedikit membanting pintu saat keluar dari ruang tersebut.
Edsel dan Maruta yang ditinggal begitu saja, saling diam dengan pikiran masing-masing.
Sampai di pelataran Gantari, Aeera menghentikan langkah dan berbalik, memandangi bangunan itu dengan saksama. Ujung bibirnya seketika tertarik ke atas, agak sinis sebenarnya. "Dia benar-benar nggak terduga. Menjelaskan pun nggak, sial."
"Aeera Sedayu."
Perempuan itu sontak menoleh saat seseorang memanggilnya. Ia mendapati lelaki yang malam itu bertemu dengan Maruta. Iya, Kalingga. Segera Aeera menganggukkan kepala sekali sambil tersenyum. "Oh ... Om, maksud saya ... Kak Lingga."
Canggung rasanya. Aeera yang sejujurnya tidak terlalu suka dengan lelaki itu, harus bersikap baik sebagai wujud sopan santun. Padahal, ia tipikal orang yang tidak bisa menutupi ketidaksukaan pada orang lain.
Alih-alih bertanya kenapa Aeera berdiri di sana, Lingga justru melontarkan kalimat yang tak pernah perempuan itu duga.
"Bisa kita bicara sebentar? Mungkin di kedai depan." Lingga menunjuk tempat makan yang terletak tepat di depan Gantari dengan dagunya. Alis lelaki tersebut dinaikkan sebelah sembari menunggu jawaban Aeera. "Saya janji tidak akan lama."
Merasa tak kuasa menolak, Aeera mengangguk.
Keduanya duduk berseberangan di meja dekat jendela. Otomatis mereka bisa langsung melihat pemandangan di depan, begitupun orang lain yang bisa melihat mereka dari luar.
Setelah pelayan mengantarkan dua gelas minuman, Aeera baru bersuara, ''Mau bicara apa sama saya, Kak?"
Kalingga tersenyum. Ia tak langsung menjawab, melainkan meneguk minumannya beberapa kali. Setelah tenggorokannya tak lagi kering, lelaki itu berujar, "Sangat to the point, saya suka pembawaan kamu. Ah ... kamu pasti sudah tahu siapa saya dari Maruta."
Sorot mata awas tak bisa disembunyikan Aeera. Perempuan itu menatap lelaki di seberangnya lekat, sambil berusaha menyelami tatapan yang tampak kosong itu. Diam-diam, tangannya yang berada di pangkuan saling tertaut. Entah kenapa ia tak suka aura yang ada pada Kalingga.
"Saya tahu ini terdengar gegabah dan bodoh jika saya memintanya pada kamu, tapi saya yakin kamu tidak bisa menolak." Senyum miring tersungging di bibir Kalingga. Ia sedikit mencondongkan tubuh, menumpu dua tangannya yang terlipat di atas meja. Sekali ia melihat ke arah lain sebelum benar-benar fokus pada perempuan di depannya. "Saya mau kamu membantu saya, menghancurkan Maruta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Logika Jentera (Completed)
General FictionKekecewaan memang membawa Aeera pada titik "menihilkan" Tuhan. Namun, bagaimana jika ia bertemu dua sosok yang sukses menyudutkannya habis-habisan perihal penyangkalannya, mengenalkan logika jentera, berputar tanpa henti? Sedang, Maruta dan kawan-ka...