Playing Now;
Red - Taylor Swift»»————>❇❇❇<————««
Perjalanan mereka menuju destinasi diperkirakan akan memakan waktu 7-10 hari dengan kereta uap tua tersebut.
Chris tidak khawatir dengan apa yang terjadi nanti tatkala ia sampai di sana meski tanpa uang ataupun harta yang sejatinya ia telah kehilangan itu semua. Yang Chris khawatirkan saat ini adalah... Apa yang akan ia makan selama perjalanan selama seminggu lebih itu di dalam kereta?
Ia akan kelaparan, lagi, tentunya.
Hari menjelang malam, terlihat dari kaca gerbong kereta yang berdebu. Chris tidak peduli. Mau malam ataupun siang, sama saja. Penderitaan nya tidaklah berakhir.
Bertahan hidup adalah hal yang satu-satunya ia lakukan.
"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Hazel.
"Kau terbangun?" Chris malah balik bertanya, sengaja mengabaikan pertanyaan Hazel.
"Sebenarnya aku tidak tidur, hanya sekadar beristirahat memejamkan mata."
Chris mengangguk, "Tidur dalam posisi duduk begini tentulah tidak nyaman,"
Hazel hanya tersenyum, lalu memandang para penumpang yang lain. Ada yang tidur, melamun, makan, bahkan ada yang menangis seperti ibu hamil di ujung di sana bersama anak kecil kisaran 6 tahun di sampingnya.
Pemandangan yang biasa, karena perang menghancurkan segalanya.
Sementara itu, Chris abaikan dengan sekitarnya.
Ia lapar, lagi.
Hah, Chris yang malang hanya dengan memikirkan perut dan sesuatu yang dapat ia makan.
"Sepertinya mereka semua bersiap dengan bekal kemari," Celetuk Chris.
"Hah?"
"Itu," Chris menunjuk beberapa penumpang yang sama lusuh nya dengan mereka bersama tas besar dan makanan kering yang dibungkus kertas koran dan air.
Hazel ber-oh ria, "Tentunya untuk bertahan hidup, kan? Perjalanan kita cukup panjang dan asal kau tahu aku juga membawa hal yang sama,"
Chris menoleh, baru ia sadari di bawah--tepatnya samping kaki gadis itu---di bagian bawah kursi terdapat tas besar milik Hazel.
Gadis itu menarik tasnya dan membukanya, "Aku membawa beberapa puluh roti dan lima botol besar air minum selama perjalanan sepuluh hari kedepannya,"
"Roti..." Chris menggumam, memperhatikan roti tersebut yang nyaris tak layak konsumsi lagi.
Sial, perutnya bergerilya lagi menjerit meminta asupan.
Hazel mengambil sebungkus, "Kau, tahu? Ini pun aku dapatkan dengan susah payah dari pabrik roti yang telah disegel,"
"Kau mencurinya?" Sejujurnya Chris tidak kaget. Seburuk itu keadaan di tanah mereka.
"Apa mengambil makanan yang sudah tak layak konsumsi yang biasanya dibuang oleh orang-orang borjuis termasuk mencuri?"
Chris tersenyum, "Tidak. Tentu tidak. Kita hanya bertahan hidup, dan itulah yang kau, aku dan orang-orang seperti kita lakukan,"
"Betapa sulitnya hidup di negara yang terlibat polemik perang,"
"Ya, memang. Kita bukanlah negara terjajah, tapi sialnya orang-orang yang tak punya kasta dan harta seperti kita sudah seperti sampah terbuang," Chris terkekeh miris.
"Begitulah. Keadilan hanya berpihak pada mereka yang memiliki kuasa dan uang,"
"Kau benar," Angguk Chris. "Oh, ya, omong-omong kita baru saling mengenal nama, boleh ku tahu mengapa kau juga berakhir di kereta gratis ini?"
Hazel menerawang ke depan, menggigit roti nya lagi, tanpa ia tahu Chris meneguk ludahnya kasar.
Pria itu juga lapar.
Hei, Hazel, peka lah dan bagikan sedikit makanan mu pada Chris!
"Pengeboman itu menewaskan kedua orang tuaku, menghancurkan rumah kecil satu-satunya peninggalan nenek yang kami tinggali, dan hanya dua buah gelang peninggalan ibu yang bisa ku selamatkan dan bawa pergi," Hazel menceritakan nya dengan tenang, tapi Chris tahu dari sorot netra yang gelap itu menyimpan luka dan kesedihan serupa seperti yang ia alami.
"... Sekarang hanya tersisa satu ini," Hazel menunjukkan gelang emas yang berada di pergelangan kirinya.
"Kemana yang satunya? Hilang atau terjatuh?"
Hazel menggeleng, "Aku menjualnya, demi bertahan hidup."
Kruuk!
Sial. Di tengah cerita, perut Chris berbunyi lagi dan Hazel tidak juga menyadari.
"Kau masih beruntung, ada hal yang membuatmu bisa bertahan" Ujar Chris lesu.
Hazel sadar kok, sedari awal, Chris tak datang dengan tas besar atau perbekalan. Hanya sehelai baju yang melekat di badan. Sungguh malang.
Gadis itu jadi memandangi pemuda di samping nya ini. Sepatu coklat yang robek di bagian kiri, celana dan baju kumal nan lusuh serta coat yang sudah belel. Namun, dari semua kemirisan itu, Chris tertolong dengan wajahnya yang tampan. Terlebih ketika cahaya rembulan menyoroti wajahnya lewat jendela kaca kereta yang kusam.
Hazel sampai tak bernafas beberapa detik kala akhirnya menyadari bahwa pemuda ini sangatlah rupawan.
"Kau sangat tampan," Gumam Hazel pelan.
"Apa?"
"Tidak, bukan apa-apa."
Sejujurnya ia mendengar, hanya tidak berniat membahas ataupun melanjutkan. Pria itu hanya tersenyum kecil nan samar sebagai balasan.
Krukk!
Perutnya dengan kurang ajar berbunyi lagi kala ia sedang merona.
"Eh, kau lapar, ya?" Akhirnya Hazel sadar.
Gadis itu bergegas memberinya sepotong roti dan sebotol air.
Chris menerimanya dengan malu. Sialan, pipi nya yang terasa hangat pastilah menjadi sangat merah sekarang.
________________________
TO BE CONTINUE
________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
GERBONG KERETA, CERITA KITA {On Going}
Historical FictionDia kelaparan, kedinginan, tanpa seorangpun di sisinya. Dia Chris---pemuda 24 tahun yang kehilangan segalanya kecuali nyawa dan sehelai baju yang melekat di badan. Pengeboman itu, menghancurkan hidupnya, masa depannya yang terancang apik di depan ma...