Playing Now;
Enchanted - Taylor Swift»»————>❇❇❇<————««
Setelah empat hari perbaikan, akhirnya kereta dapat memulai perjalanannya kembali.Chris dan Hazel duduk di bangku mereka sebelumnya dengan keduanya yang menghela nafas lega.
Selama empat hari itu mereka menyimpan roti perbekalan dan menggantinya dengan bahan makanan yang tersedia di alam seperti; jamur, buah-buahan (raspberry liar) juga Chris sempat berburu burung kecil tuk mereka makan.
Seadanya, tapi setidaknya mereka tetap bisa bertahan.
"Kau terlihat lebih rapi dan tampan dengan potongan rambut yang lebih pendek itu,"
"Terimakasih, ku anggap itu pujian." Balas Chris mematri senyum tipis nyaris tak terlihat.
"Hm, sama-sama. Jadi, bisa kau lanjutkan?"
"Apanya?"
"Kisahmu, tentu saja." Jawab Jazel pasti. "Setelah peristiwa di mana kau tersungkur di tanah itu kau tidak menceritakan kelanjutannya lagi,"
"Ah, itu... Kau masih mau mendengarnya rupanya,"
"Tentu saja! Kau bilang kau akan menceritakannya sampai akhir!"
"Ow ow, tenang, nona. Kau tidak perlu berteriak," Chris sedikit terkejut dengan keantusiasan Hazel yang tidak biasa.
"Aku tidak teriak, hanya setengah teriak."
Chris mengudarakan tawa kecilnya. Hazel dan tingkahnya terkadang memang lucu, membuatnya tak kuasa menahan senyum.
Chris sadar, selama bersama Hazel ia jadi lebih banyak tertawa ketimbang murung. Dan itu adalah satu hal baik.
"Baiklah, aku akan menuntaskan kisahnya kali ini, jadi dengarkan, ya!
Waktu terasa berlalu lebih baik ketika Chris mulai bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Pria itu tersenyum lebar begitu mengetahui dirinya dapat melangkah dengan kaki yang tegap kala terbangun pagi itu.
"Kakek! Kakek! Bangunlah! Lihat, aku sudah bisa berjalan dengan normal dan tanpa tongkat lagi. Ini semua berkatmu!" Chris berkata girang sembari membangunkan sosok pria tua yang masih nampak tertidur itu.
Matahari sudah tinggi dan itu tidak biasanya bagi pria tua itu masih tidur di jam segini.
Chris tidak ambil pusing, ia kepalang senang karena sudah sembuh hingga ia tak menyadari kejanggalan yang terjadi pagi itu.
Masih mengguncang pelan bahu si kakek yang tertidur, Chris akhirnya menyadari tubuh pria itu yang terasa dingin.
"Cuaca cukup cerah dan matahari mulai terasa panas lalu kenapa tubuhnya dingin sekali?" Gumam Chris.
Sekali lagi, Chris mengguncang tubuh si kakek lebih kuat, hingga ia menyadari deru nafas sang pria tua itu tidak ada.
"Tidak! Tidak!! Tidakk!!!"
Chris yang syok dengan gemetar menempelkan jari telunjuknya di ujung hidung sang kakek dan benar saja helaan nafas itu tidak ada.
Chris mulai mengeluarkan isak tangisnya, "Tidak! Tidak lagi! Kumohon..."
Seolah menyangkal apa yang terjadi, ia mengecek nadi tangan dan leher si kakek dan kenyataan pahit menghantamnya.
Ia terjatuh---terduduk lemas berinai air mata di hadapan jenazah si kakek tua yang telah tiada.
Ia berteriak---meraung berupaya melepaskan semua rasa sakit yang menyerbu dalam dadanya meski itu tidak mengubah kenyataan yang ada.
Sekali lagi, takdir mengambil orang yang disayanginya.
Hazel menutup mulutnya tak menyangka, "J-jadi kakek baik hati itu meninggal?"
Dengan lesu Chris mengangguk, "Ya, dia pergi sebelum sempat melihat hasil dari pengobatan tradisionalnya yang ia berikan padaku. Dia pergi sebelum aku membalas semua kebaikannya,"
"Aku turut berduka untukmu, Chris."
"Terimakasih," Chris menyeka setitik air mata yang sempat jatuh di ujung netranya.
"Kau tidak perlu meneruskan kisahnya lagi jika itu hanya akan membuatmu terluka. Maaf karena telah memintamu melanjutkannya,"
Chris malah menggeleng, "Tidak, Hazel. Ketika aku bilang akan menuntaskannya, maka akan kusampaikan semua ceritaku sampai akhir padamu. Percayalah, aku bukan pria pembohong."
"Aku tahu," Hazel tersenyum. "Hanya dengan mengetahui kau masih kuat menceritakannya padaku meski perasaanmu sakit karenanya, aku sudah tahu bahwa kau bukan pria omong kosong belaka," Hibur Hazel padanya.
Setelah kepergian sang kakek, Chris memutuskan tuk meninggalkan gubuk dan area sungai guna mengubur semua kenangan yang dialaminya bersama si kakek penolong.
Menuju ibu kota, pertama kali yang dilakukannya adalah mencari perkerjaan.
Tentu saja, tanpa uang memangnya kau bisa bertahan hidup, huh?
Sayangnya, tidak ada yang menerimanya dengan riwayat kaki yang pernah cacat. Tidak bahkan untuk pekerjaan buruh sekalipun.
Lantas Chris menjadi seorang yang terluntang-lantung pada akhirnya; kelaparan dan kesedihan turut menyertainya.
"Pergi sana! Ini wilayah kami!"
Duukk!
Chris yang barusan ditendang kakinya itu hanya menatap nanar beberapa pemuda yang mengerubuti sebuah paket yang agaknya terjatuh, berisikan beberapa potong roti yang dibungkus kertas koran.
Mereka memperebutkan makanan itu seolah tak ada hari esok.
Ia yang terusir dan seorang diri, tak berani berujar ingin meminta barang sedikit saja, atau ia akan dipukuli---dikeroyok, lagi.
Iya, dipukuli. Malangnya, akibat kelaparan, orang-orang seakan terbiasa dengan kekerasan dan penganiayaan demi mementingkan perut sendiri dan ini bukanlah yang pertama kali bagi Chris.
Memilih menjauh dari segerombolan pemuda lusuh itu, lelaki itu berjalan seraya menepuk-nepuk beberapa bagian baju lusuhnya yang kotor akibat dihajar.
Bertemankan rasa lapar, kedinginan, kesakitan, tanpa seorangpun di sisinya.
Itulah Chris---pemuda 24 tahun yang kehilangan segalanya kecuali nyawa dan sehelai baju yang melekat di badan.
Pengeboman itu, menghancurkan hidupnya, masa depannya yang terancang apik di depan mata.
Hingga langkahnya yang letih membawanya menaiki sebuah gerbong kereta tua yang akan membawa penumpangnya menuju pinggiran kota---tempat orang buangan berada.
Ke sana lah, tujuan Chris satu-satunya.
"Begitulah hingga akhirnya takdir mempertemukanku denganmu di kereta ini," Chris tersenyum mengakhiri kisahnya.
_______________________
TO BE CONTINUE
_______________________
KAMU SEDANG MEMBACA
GERBONG KERETA, CERITA KITA {On Going}
Historical FictionDia kelaparan, kedinginan, tanpa seorangpun di sisinya. Dia Chris---pemuda 24 tahun yang kehilangan segalanya kecuali nyawa dan sehelai baju yang melekat di badan. Pengeboman itu, menghancurkan hidupnya, masa depannya yang terancang apik di depan ma...