Playing Now;
Jiwa yang bersedih - Ghea Indrawari»»————>❇❇❇<————««
"T-tunggu, tujuh hari? Kau tak sadarkan diri selama tujuh hari?!" Hazel nyaris tak percaya ini. "Bagaimana kau bisa bertahan?"
Chris mengedikkan bahu, "Entahlah. Keajaiban, mungkin"
"Lalu apa yang terjadi pada kakimu?" Tanya Hazel tak sabaran, lebih tepatnya seperti seseorang yang terdengar mencemaskan.
Chris tersenyum samar melihat itu, meneguk sedikit air minumnya sebelum melanjutkan, "Kau bisa menebaknya,"
Pada akhirnya, Chris tetap menjadi orang yang ditinggalkan.
Kepedulian adalah hal yang berkisar dalam desimal 0% di hati orang-orang saat ini, karena faktanya, mereka pun harus berjuang demi diri sendiri guna mempertahankan nafas yang bagai di ujung tanduk.
Chris mau menangis saja rasanya. Sekujur badannya terasa sakit, lalu kakinya lumpuh. Setelah ini, hal mengerikan apalagi? pikirnya.
"Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" Rintihnya putus asa.
Di saat semua orang pergi tanpanya, Chris hanya terdiam memandangi kakinya yang tak bisa digerakkan.
Sakit. Amat sakit. Hingga Chris tak bisa menitikkan air mata.
Meski terasa menyiksa, Chris tak mau membuang masa. Dilepasnya kain yang menempel di tubuh bagian atasnya, menampakkan banyak memar kebiruan juga kehitaman---mungkin efek radiasi bom dan racun yang mengenainya. Pria itu bertelanjang dada, hanya menyisakan celana lusuh nyaris gosong yang melekat tersisa, kemudian dengan kepayahan ia menyeret kedua kakinya, menuju satu tujuan yang pasti; keluarganya.
"Chris, sepertinya aku tahu kelanjutannya" Hazel menahan nafas yang tiba-tiba terasa sesak sepanjang mendengar kisah Chris. "Tak usah kau teruskan jika---"
"Tidak," Potong Chris.
Pria itu mengambil nafas sejenak, menatap gerbong kereta tua yang membawa mereka tanpa henti menuju destinasi terakhir, kemudian berujar, "Aku sudah memulainya karena kau terlanjur meminta, jadi aku akan menceritakannya padamu sampai akhir tanpa ada yang terlewat, nona"
Sepanjang jalan Chris menyeret kakinya---atau bisa lebih tepat disebut mengesot, orang-orang tak henti memandangnya dengan beragam reaksi. Kasihan, jijik, iba namun hanya mengabaikan tanpa berniat menolong sama sekali.
Kakinya berdarah hebat. Jalan yang dilaluinya tak ayal meninggalkan bekas merah cairan berupa darah. Sakitnya tak seberapa dengan betaap hancur hatinya kala melihat rumah satu-satunya yang menjadi tempat tinggal ia dan orang tuanya kini hancur lebur.
Semua sama. Rata, lantak, tanpa ada yang tersisa. Harusnya dari beberapa rumah yang ia lewati, Chris tahu bahwa rumahnya pun tak mungkin luput dari kondisi serupa.
Ah, Chris yang malang, hancur bersama nestapa.
"Ayah! Ibu!" Panggilnya. Entah kemana angin membawa relung sakit miliknya.
Tak ada yang menjawab, tentu saja.
Mereka telah mati, tewas bersama ledakan itu, terbukti dari dua jasad yang terbujur kaku dengan kondisi tubuh di beberapa bagian yang tak lagi utuh.
"AYAH!!! IBUU!!" Chris meraung. Pria itu menangis hebat.
Mengabaikan material bata dan besi dari reruntuhan rumah yang menghalangi jalannya, Chris tetap menyeret paksa tubuh dan kakinya, meski beberapa bilah tajam itu menancap dan sukses mengucurkan luka berikut darah segar yang kian lara, ia tetap bersikeras guna mencapai kedua jasad kedua orang yang paling dicintainya.
"Ibu! Ibu! Ini Chris! Chris pulang, ibu. Ibu mendengarkan, kan? Ibu pasti hanya tertidur, kan? Begitupun ayah," Chris memeluk daksa ibunya yang telah tiada, menggerung nestapa bersama angan yang telah hancur selamanya.
Yang paling memilukan adalah ketika pria itu sangat tahu kenyataan apa yang terjadi di depan matanya, namun masih berusaha menyangkal dengan arti yang sia-sia.
Kemudian, ia beralih pada jasad ayahnya, "Ayah! Ayah, Chris sebentar lagi berhasil. Harusnya sebentar lagi, sebentar lagi saja maka ayah akan melihat putra ayah ini mengenakan seragam angkatan laut yang sangat ayah suka. Tolong, ayah! Bukalah matamu barang sebentar saja..."
Semua yang Chris celotehkan, segala hal tentang masa depan yang ia omongan hanyalah kesia-siaan berharap yang telah tiada tuk kembali.
Kemudian, laki-laki malang yang terluka fisik dan batinnya itu menengadah ke atas langit, menatap bentangan sang biru yang kini nampak kelabu di atas sana, kemudian berteriak sejadi-jadinya; menolak kena'asan yang menghampirinya.
Untuk pertama kalinya, Hazel melihat Chris menangis---menitikkan air mata. Sejak awal bercerita, lelaki di sampingnya itu nampak tenang, tapi ketika sampai pada bagian mengenai orang tuanya, Hazel tidak bohong bahwa ia sungguh melihat danau luka itu di kedua selia si pria.
Kemudian, seperti terkena serangan jantung, Hazel membelalakkan mata tatkala Chris yang tadinya masih bercerita dengan suara parau, kini tersungkur dari posisi duduknya dengan darah yang mengalir keluar dari hidungnya.
"CHRIISSS!!!
_______________________
TO BE CONTINUE
_______________________
KAMU SEDANG MEMBACA
GERBONG KERETA, CERITA KITA {On Going}
Historical FictionDia kelaparan, kedinginan, tanpa seorangpun di sisinya. Dia Chris---pemuda 24 tahun yang kehilangan segalanya kecuali nyawa dan sehelai baju yang melekat di badan. Pengeboman itu, menghancurkan hidupnya, masa depannya yang terancang apik di depan ma...