Playing now;
Still Dream - Kim Woojin»»————>❇❇❇❇<————««
"Hei, jangan menangis, nanti wajah ini tidak terlihat cantik lagi"
Chris bukannya merayu, pria itu hanya berniat menghibur, namun entah salah dimanakah hingga mendapat tatapan sinis dari Hazel.
"Kau punya mulut buaya juga, ya, rupanya?"
"Hah? Buaya apanya? Apa tidak sedang merayu!" Bantah Chris, tentu saja.
Hazel terkekeh, "Jangan memasang wajah ketus begitu! Tidak cocok sama sekali,"
Meski tidak terima, Chris pada akhirnya mengalah saja. Ia lega Hazel berhenti menangis dan kini malah menertawakan wajahnya.
Suasana kembali seperti biasanya. Hening menyapa mereka, terkecuali deru uap dari kereta dan bising mesin yang sudah tua.
Hingga Hazel kembali bersuara setelah beberapa saat mereka tenggelam dalam sunyi.
"Hah, andai bisa kembali ke masa lalu ya" Pernyataan asal itu membuat Chris menoleh.
"Memutar waktu, maksudmu?"
"Mm, andai jika bisa" Hela nafas Hazel terdengar nyaring di kesunyian malam yang mulai menjelang.
"Ya, andai jika bisa, maka sudah ku lakukan tak peduli berapapun tebusan yang harus dikorbankan" Berangan pada hal yang mustahil, itulah yang mereka lakukan.
Chris kemudian menyerongkan posisi duduknya agar bisa pas menghadap Hazel. Entah mengapa topik ini terasa menarik baginya.
"Jika bisa memutar waktu, memangnya apa yang kau ingin lakukan?"
"Apa, ya? Entahlah. Aku tidak tahu pasti apa yang ingin ku lakukan, tapi yang jelas aku ingin kembali ke saat-saat bahagia yang ku miliki dulu, sebelum semuanya jatuh"
"Sebelum semuanya jatuh?"
Hazel mengangguk, "Pernah dengar ungkapan umum di masyarakat yang berbunyi; anak kecil ingin sekali menjadi dewasa sedangkan orang dewasa ingin kembali ke masa kanak-kanak mereka?"
"Tentu," Chris mengangguki. "Itulah yang terjadi pada orang-orang seperti kita, benar? Ketika kecil kau ingin sekali menjadi dewasa, punya mimpi, cita-cita, rumah yang hangat dan sebuah keluarga tapi ketika sudah menjadi dewasa malah ingin kembali ke masa di mana kita hanyalah anak kecil yang belum mengerti dunia, hanya tahu bermain, tertawa tanpa mengerti di luar sana betaap kejamnya dunia."
"Ya, itulah mengapa aku ingin sekali setidaknya satu kali saja kembali ke mana-mana bahagia itu, sekali saja"
Chris yang penasaran, tak bisa menahan tanya, "Lalu, hal bahagia seperti apakah yang ingin membuatmu memutar sang masa?"
"Ini akan jadi cerita yang panjang, Chris" Hazel memperingatkan.
Kini giliran Chris yang menatapnya sinis, "Kenapa terdengar familiar, ya?"
Gadis itu melempar kekehan manis, "Hehe, kau sudah bercerita dan sepertinya aku juga ingin melakukan hal yang sama"
"Jika itu membuatmu bisa tersenyum meski juga pahit kala mengenangnya, maka membaginya denganku---dengan senang hati aku kan mendengarkannya"
Sebenarnya, kisah Chris saja belum selesai pria itu ceritakan; tentang kelumpuhan kakinya dan bagaimana ia bisa kembali berjalan, kehidupan setelah pengeboman dan lainnya, tapi tak apa, ia bisa melanjutkan kisahnya yang setengah lagi nanti setelah mendengar milik Hazel.
"Tentu. Ini adalah masa di mana aku masih bisa tersenyum dan hati ini belum mati rasa," Gadis itu menerawang ke langit-langit usang kereta, lalu memulai kisahnya.
Di bawah langit cerah, berhiaskan awan tipis dan kehangatan mentari, dua anak perempuan kembar berusia 6 tahun itu berlari kesana kemari. Bermain, penuh akan tawa, canda, gurau jenaka juga sesekali gurauan yang berujung perkelahian kecil yang membuat tangis di antara keduanya.Tapi, itu hal yang wajar dalam hal bersaudara. Lima menit yang lalu mereka bertengkar, lima belas menit kemudian sudah main siram-siraman.
Masa kanak-kanak adalah masa terindah. Masa di mana kau tidak memikirkan beban, tanggungjawab, apalagi kejamnya dunia, karena sejatinya pada saat itu kita belum mengenal lebih jauh dunia tempat kita berpijak di dalamnya, belum mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya.
"Kakak, kemari!" Sang adik melambaikan tangannya, memberi gestur agar menghampirinya.
"Tidak mau, bukankah ibu sudah melarang kita untuk tidak bermain terlalu jauh?"
"Ayolah, sebentar saja, ayah ataupun ibu juga tidak lihat kok,"
Hazel masih diam, menimang-nimang.
Ia ingin berkata tidak, tapi aliran air sungai jernih yang menampakkan ikan-ikan kecil lucu berenang di dasarnya membuat dirinya tergoda, sebelum kemudian menggeleng.
"T-tapi kita tidak bisa---belum bisa berenang, Dazel. Bagaimana jika terjatuh? Batuan itu nampak cadas dan curam,"
"Kita saling berpegangan saja," Balas Dazel. "Bukankah dengan begitu aman?"
Logika di kepalanya menyuruh berhenti, tapi hasrat keinginan sebagai anak-anak pada umumnya begitu sulit tuk ditolak, maka dengan itulah meski agak sedikit enggan, Hazel akhirnya menyusul sang adik yang bahkan lebih dulu mengobok-obok air di tepi sungai, bermain dengan rantingnya tuk mengacaukan arus ikan.
"Kakak, jika besar nanti aku punya impian ingin menjadi burung" Kata Dazel.
Burung? Yang benar saja.
Oh ayolah, itu hanyalah ungkapan seorang anak polos berusia 6 tahun. Apa yang kau harapkan memangnya?
"Kenapa burung?" Tanya sang kakak tak kalah heran.
"Agar bisa terbang melihat dunia luas. Di sini kita hanya sebatas sampai pekarangan rumah dan pinggir hutan, ayah dan ibu tidak membolehkan kita bermain lebih jauh, bukankah dengan menjadi burung kita bisa bebas?" Kata Dazel.
Anak itu bahkan menjawab tanpa menoleh ataupun menatap Hazel, ia sibuk dengan ikan-ikan nya, namun jawaban sederhana itu membuat si yang lebih tua beberapa menit darinya termenung.
______________________
TO BE CONTINUE
______________________
KAMU SEDANG MEMBACA
GERBONG KERETA, CERITA KITA {On Going}
Historical FictionDia kelaparan, kedinginan, tanpa seorangpun di sisinya. Dia Chris---pemuda 24 tahun yang kehilangan segalanya kecuali nyawa dan sehelai baju yang melekat di badan. Pengeboman itu, menghancurkan hidupnya, masa depannya yang terancang apik di depan ma...