Playing Now;
Pick up the Phone - Henry Moodie»»————>❇❇❇<————««
"Apa itu?"
"Herba hutan," Jawab Sang kakek, membuka bungkusan kertas minyak yang dibawanya, menampakkan sesuatu seperti pasta hijau kekuningan.
"Bentuknya seperti... " Chris sedikit teringat sesuatu yang menjijikkan ketika melihat teksturnya.
"Singkirkan pikiran kotormu! Ini adalah daun herba dan beberapa ekstrak botani hutan yang kupetik lalu ditumbuk bukannya kotoran."
Chris bernafas lega setelah mendengar penjelasan kakek tersebut.
Dengan telaten kakek itu mengoleskan obat tersebut ke seluruh kaki Chris yang terluka.
"Di samping olesan herbal kau juga harus sambil berlatih berjalan sekiranya otot dan sendimu tidak abadi kaku. Setidaknya lakukan itu seminggu lagi setelah luka-luka mu mulai mengering,"
Chris mengangguk, lalu berterimakasih.
"Tetaplah di sini selagi aku pergi ke luar area sungai," Katanya menatap Chris yang setengah tiduran di ranjang---bukan, itu tidak seperti ranjang melainkan seperti rotan yang dianyam menyerupai tempat tidur. Tidak ada bantal, tidak juga kasur. Hanya beralaskan kain tebal. Sebut saja balai-balai.
"Kakek mau pergi kemana?"
"Kemana lagi? Tentunya memulung dan mencari makan. Kau tenang saja, aku akan membawakanmu makanan layak yang bisa kau makan nanti. Selagi aku pergi kau bisa makan dulu ikan sungai yang kita bakar kemarin," Katanya bersiapa hendak pergi dengan karung goni yang dipikulnya.
Seketika Chris menatap pria tua itu dengan rasa bersalah, "Maafkan aku yang telah menyusahkan dan merepotkanmu, kakek. Aku berhutang budi,"
"Berhentilah minta maaf. Kau sudah melakukannya sejak kemarin. Dan lagi, sudah kubilang padamu aku melakukan ini untuk membalas kebaikanmu di masa lalu, jadi berhentilah memikirkan hutang budi!" Balasnya sedikit jengah karena Chris akan sentiasa meminta maaf.
Belum sempat Chris berkata, si kakek telah menutup pintu gubuk dengan agak sekarang sembari berseru, "Aku pergi! Jaga dirimu selama aku tidak ada!"
Kini, tinggalah Chris seorang diri di gubuk reyot tepi sungai tersebut, memandangi kedua kakinya yang lumpuh dengan perasaan sesak yang kian menguar di dada.
"Jika kakimu pernah sakit dan terluka separah itu artinya..."
"Ya, Hazel, tebakanmu benar," Chris menyingsingkan kain celana lusuhnya hingga ke lutut di bagian sebelah kiri. "Kau bisa lihat ini? Ini semua bekas luka itu,"
Terlihat mengerikan, hingga Hazel tak bisa lebih membayangkan bagaimana kondisi Chris ketika luka itu masih basah dulu.
"Kau pasti sangat menderita. Tidak hanya luka fisik tapi luka batin juga kau dapat," Tatap Hazel iba.
"Jangan mengasihaniku, Hazel. Aku jadi terlihat semakin menyedihkan,"
Hazel menggeleng, "Jika kau menyedihkan maka aku pun juga sama. Kau lupa? Kita semua yang ada di kereta ini adalah sama. Sama-sama terbuang, menyedihkan."
"Kau benar,"
"Sudahlah, tidak usah berlarut-larut meratapinya. Lebih baik sambung kisahmu saja!"
Chris mengangguk, sebelum melanjutkan ceritanya.
Hari-hari berat berlalu begitu saja meski bagi Chris tetaplah terasa lambat. Kini, sudah dua bulan berlalu sejak ia menumpang hidup di gubuk si kakek tua.
Pria yang sudah berusia senja itu membantunya belajar jalan dengan sabar hari demi hari. Chris sudah bisa berdiri, namun masih memerlukan bantuan tongkat tuk dapat menggerakan dan melangkahkan kakinya.
"Kondisimu sudah semakin membaik, tapi tetap saja kau tidak boleh pergi sebelum benar-benar bisa berlari,"
"Haruskah dengan berlari menjadi syaratnya?" Keluh Chris.
"Tentu saja! Kau pikir aku akan melepaskanmu ke dunia luar yang kejam itu di saat kau saja masih tertatih dengan langkahmu?!"
"Tapi aku sudah terlalu lama dan banyak merepotkanmu," Liriknya kecil, namun pendengaran si kakek masih peka dan berfungsi dengan baik.
Pria tua itu mendecak, "Berhenti menyalahkan kondisimu, anak muda. Yang harus kau lakukan adalah memupuk kembali semangat hidup yang telah tumbang itu," Ujarnya menasehati.
"Tapi..."
"Tidak ada tapi! Jika kau masih ingin belajar berjalan lagi maka sedikit menjauhlah dari area sungai. Arus airnya bisa saja pasang sewaktu-waktu. Nah, sepertinya aku harus pergi mencari penghidupan lagi sekarang. Berhati-hatilah!" Si kakek pamit lagi dengan karung goninya meninggalkan Chris dengan tongkatnya yang menatap deburan air sungai dengan sendu.
Siang menjelang, masalah Chris tidak sampai situ saja. Pria yang tengah tiduran itu harus bangun lantaran hasrat buang hajat yang melanda.
Beruntung Chris sudah dapat berjalan hingga ia tidak memerlukan pispot---atau sebut saja kendi air bekas yang biasa digunakannya tuk menampung air kencing.
Berjalan tertatih dengan tongkatnya, pria itu mencapai tepian sungai.
Dengan kakinya yang agak gemetar Chris berusaha membuang sisa cairan tubuhnya---kencing dengan buru-buru karena harus menyangga tungkainya yang bisa saja tumbang sewaktu-waktu.
Setelah selesai, pria itu berbalik hendak kembali ke gubuk namun na'asnya tongkat yang ia gunakan menginjak batu kecil hingga topangan langkahnya menjadi tidak seimbang dan berakhir---
Braakkk!!!
ia tersungkur.
Mengepalkan tangannya di atas tanah, Chris menyesali keadaan yang harus terjadi pada dirinya diiringi setitik air mata yang hadir setelah sekian bulan lamanya mengering.
______________________
TO BE CONTINUE
______________________
KAMU SEDANG MEMBACA
GERBONG KERETA, CERITA KITA {On Going}
Historical FictionDia kelaparan, kedinginan, tanpa seorangpun di sisinya. Dia Chris---pemuda 24 tahun yang kehilangan segalanya kecuali nyawa dan sehelai baju yang melekat di badan. Pengeboman itu, menghancurkan hidupnya, masa depannya yang terancang apik di depan ma...