Song Playlist;
Teramini - Ghea Indrawari»»————>❇❇❇<————««
Hari-hari berikutnya banyak gadis itu habiskan di hutan ketimbang di rumah yang seolah selalu memusuhinya. Mencari kayu bakar, menombak ikan, memetik buah-buah liar sekadar pengganjal perut yang lapar dilakukan Hazel untuk mengisi hari-harinya yang suram.
Ia tidak mengeluh. Tidak, tidak pernah sampai sebuah ledakan dahsyat terdengar dari arah utara---tepat di mana rumahnya berada.
Menyadari bahwa hal itu merupakan hal buruk, gadis itu berlari ke utara hutan mengabaikan ikan yang tengah dibakarnya di api unggun menuju sumber suara.
"Oh, tidak!"
Ia terlambat.
Lahan lapang di tengah hutan yang menjadi tempat tinggal mereka itu hancur nyaris separuh dari eksistensi hutan itu sendiri. Beruntung Hazel berada di bagian hutan yang lain sehingga dirinya tak menjadi korban, tidak seperti---
"Ayah! Ibu!"
Berlari menuju puing-puing kehancuran rumahnya, ia dapati beberapa potong tubuh yang tercerai berai yang ia yakini adalah orang tuanya. Tentu saja, manusia mana lagi selain ia, ayah dan ibunya yang berada di hutan terpencil ini lagi memangnya?
Tidak. Hazel tidak meraung dan menangis seperti yang remaja lain lakukan ketika keluarganya meninggal. Gadis itu hanya termenung meraih dua gelang emas yang ada di tangan ibunya yang rupanya tak ikut hancur oleh ledakan.
Kapan ibu memiliki ini? Batinnya menelaah keadaan.
Kemudian, setitik air matanya jatuh menyadari bahwa ia tak diinginkan sama sekali setelah kematian sangat adik. Dirinya adalah bencana itu sendiri.
Memukul dadanya yang mendadak sesak dan terasa sakit, Hazel bangkit. Gadis itu berusaha menyeka air mata yang turun kian deras. Tak bisa ia pungkiri, ia mencintai dan menyayangi kedua orang tuanya terlepas dari perlakuan mereka yang tidak menyayangi dirinya lagi.
Duarr!!!
Terdengar suara ledakan lagi dari arah barat.
Hazel dengan jantung yang masih berdetak kencang karena syok dan juga sedih, menyadari tanda bahaya tersebut.
"Aku tidak tahu ledakan apa itu, perbuatan siapa dan untuk apa, tapi sepertinya aku tak bisa lebih lama lagi berada di hutan ini," Ia mengambil satu-satunya peninggalan ibunya berupa dua buah gelang emas tadi dan menyimpannya di salah satu saku bajunya.
Duaarr!!!
Satu ledakan menyusul dan kini hawa di sekitarnya menjadi panas. Nyawanya bisa saja terancam jika ia tidak bergegas.
"Ayah, ibu, maafkan Hazel" Tuturnya sebelum akhirnya berlari meninggalkan reruntuhan.
"Setelah aku keluar dari hutan, aku mencoba peruntungan dengan bekerja sebagai buruh di pabrik lain, kasa. Aku bekerja di sana untuk bertahan hidup selama 3 bulan lamanya sebelum ledakan besar itu terjadi lagi dan berakhirlah aku di kereta ini,"
Chris tidak bisa berkata-kata tuk beberapa saat hingga akhirnya suara beratnya mengudara, "Jadi begitu... "
"Yah, begitulah hingga akhirnya aku bisa di sini. Sebelum benar-benar sampai di kereta ini aku menelusuri jalan kota yang telah, hancur layaknya gelandangan dengan perut lapar hingga akhirnya menemukan gudang roti terbakar yang kabarnya disegel itu," Hazel meraih tas besar yang dipungutnya di pembuangan sampah borjuis yang terletak di bawah bangku kereta yang di dudukinya, meraih sebungkus roti dan memberikannya pada Chris.
Chris tidak menolak. Ia menyambut pemberian itu meski dengan rasa bersalah, "Jika aku bisa memiliki uang nanti, aku berjanji akan mengganti ini, Hazel."
Sang pemilik makanan hanya tertawa ringan, "Itu hanya roti, Chris. Tidak perlu seserius itu. Aku tidak meminta balasan,"
"Tetap saja, kan. Kau mendapatkannya dengan susah payah lalu harus membaginya denganku pula," Chris tentu tidak enak hati.
Hazel tersenyum, "Bayarlah dengan senyum yang lebar nanti,"
"Hah? Apa?"
"Tidak. Lupakan saja."
Chris yang tidak tahu kiasan itu, hanya menggaruk kepalanya bingung. Padahal, makna dari senyum yang lebar yang dipinta Hazel adalah kata lain dari kebahagiaan. Maksudnya, gadis itu menginginkan kebahagiaan Chris, kesuksesan Chris di masa mendatang hingga ia tidak akan lagi melihat selia yang menyimpan danau luka di pelupuk netra sang pria.
"Hazel,"
"Ya?"
"Terimakasih,"
"Untuk?"
"Untuk semuanya, segalanya. Hari-hari yang kita lewati bersama di kereta tua ini bagiku terasa lebih berwarna dengan kau di sini." Tutur Chris. "Kau orang pertama yang mengulurkan tangan padaku di saat semua orang mengucilkanku, memandangku rendah dan hina."
"Memangnya tas dasar apa kau dipandang hina?" Hazel tidak percaya ini. Ada apa dengan orang-orang? "Kau tidak melakukan kejahatan, bukan?"
Chris sontak menggeleng, "Aku terbuang, aku orang yang gagal."
Kini, giliran Hazel yang menggeleng, "Kau tidak gagal, Chris. Kau hanya belum berhasil. Tolong bedakan itu!"
Samar, Chris menyungging senyum. Entah apa yang dunia katakan padanya nanti, tapi Chris ingin melakukan ini setidaknya sekali.
Pria itu memajukan posisi duduknya, meraih punggung tangan kanan Hazel, kemudian mengecupnya.
"Terimakasih, Hazel. Terimakasih. Meski hanya beberapa kalimat, itu bagai sebuah sangga penopang agar semangat hidup dalam diri ini tidak punah,"
Chris yang bertutur terimakasih dengan senyum tipisnya, sementara Hazel masih terpaku--membeku karena punggung tangannya yang dikecup oleh si pria.
"A-apa yang... Baru saja kau lakukan?"
____________________
TO BE CONTINUE
____________________
KAMU SEDANG MEMBACA
GERBONG KERETA, CERITA KITA {On Going}
Historical FictionDia kelaparan, kedinginan, tanpa seorangpun di sisinya. Dia Chris---pemuda 24 tahun yang kehilangan segalanya kecuali nyawa dan sehelai baju yang melekat di badan. Pengeboman itu, menghancurkan hidupnya, masa depannya yang terancang apik di depan ma...