Tirani Kemanusiaan

101 22 0
                                    

"I do not see why I should be polite to tyrants, who slobber of humanitarianism and think only of their own petty interest."

-Paul Karl Feyerabend-

-o0o-

Kacau. Begitulah suasana ruangan yang baru dua bulan mereka tempati itu. Tatapan tajam saling terlempar, menghunus satu sama lain seakan tak ada niat mengalah sedikit pun. Beberapa kertas berhamburan mengotori lantai, pun alat tulis lain yang tampak berserakan akibat dilempar sana-sini. 

Di sudut ruangan, seorang lelaki yang memang dari awal tak ingin terlibat hanya bisa memijit pelan pangkal hidung. Kekacauan itu sungguh memuakkan baginya yang cinta kedamaian. Bermaksud melerai pun, tidak ada dalam daftar kegiatannya hari ini. Namun, ia sudah terlalu muak.

"Tirani sialan!" umpatnya pelan. 

Tak lama, ia beranjak dan berdiri kokoh, menunjukkan diri yang mungkin sedari tadi dianggap tak ada. Tubuh tegap dan jangkungnya sukses membuat semua orang di dalam ruangan memusatkan atensi. Tak terkecuali satu-satunya perempuan si pemancing kegaduhan.

"Bubarin aja kalau otak kalian masih sedangkal itu buat digunain mikir." Mata elang ia tunjukkan ke seluruh penghuni ruangan. Dengan tangan terlipat santai di depan dada, diangkatnya dagu tinggi-tinggi sambil melihat mereka satu per satu.

"Bubarin?" Perempuan berkemeja oversize di sana tertawa sumbang. Ia mengangkat telunjuk dan diacungkan tepat ke depan muka lelaki itu. "Gue bangun komunitas ini mati-matian dan lo dengan gampang nyuruh bubarin? Show me your brain!"

Yang lain tak ada yang berani bersuara. Aura intimidasi keduanya cukup membuat nyali mereka ciut untuk sekadar menyahut. Diam dan saling pandang, hanya itu yang bisa mereka lakukan sambil harap-harap cemas dalam hati. 

"Bukannya harusnya lo yang nunjukin otak? Lo bangun komunitas mati-matian, tapi hancurin semuanya hanya karena sekali tanda tangan. Hebat banget lo, Ciarvi Narantraya."

Kedua tangan Ciar terkepal kuat-kuat. Rahang perempuan dua puluh tahun itu mengeras, ia tak terima diperlakukan seperti itu. Setelah berhasil, setidaknya sedikit menenangkan diri, ia mendengkus. "Udah ngerasa berkuasa lo sekarang, Ga? Mentang-mentang berhasil buat komunitas dikenal dan diperhitungkan sama banyak sponsor. Inget, posisi lo di sini cuma bawahan gue."

Seorang dari mereka sudah maju, hendak menerjang Ciar. Namun, belum sempat laki-laki bernama Tanta itu menyentuh kerah Ciar, tangannya sudah dicekal Gaharu. Entah sejak kapan lelaki itu telah berdiri tepat di hadapan seorang Ciarvi. 

Gaharu tersenyum begitu lebar. Setelah melepaskan tangan Tanta, ia mengalihkan pandangan ke sisi dinding yang penuh pigura. Salah satunya adalah sebuah piagam penghargaan bertuliskan namanya, Gaharu Layyin Nuha bertengger kokoh di atas tembok putih itu.

Ciar yang sempat syok karena Tanta, ikut menoleh dan memusatkan pandangannya ke arah yang sama.

"Gue bawahan lo? Ciarvi, kalau gue nggak terikat perjanjian sama lo waktu masuk komunitas ini, gue akan lebih seneng kalau piagam itu dipajang di kamar gue." Jaraknya dengan Ciar yang hanya sejengkal, membuat Gaharu begitu mudah mendominasi perempuan di depannya. Ia bahkan sengaja mendekatkan bibirnya ke samping telinga Ciar dan berbisik, "Menang debat lawan mahasiswa-mahasiswa itu nggak mudah dan nggak bisa lo lakuin, kan?''

Gaharu menjauh. Ditatapnya mata Ciar yang sudah mengobarkan aura permusuhan. Ia tak peduli pada pemimpin angkuh itu. Memang, sejak berdirinya komunitas yang menyebut dirinya sebagai Pemuda Bergerak itu, tabiat Ciar sudah tampak jelas. Namun, di samping para anggota yang berpikir sang pemimpin bisa berubah, mereka juga terikat kontrak hingga tak bisa keluar seenaknya. 

Rhythm RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang