Nama Kita Tetap

32 12 0
                                    

Dua  pria tengah menikmati waktu luang setelah melaksanakan pekerjaan selama satu shift penuh. Tengah malam begini, memang waktu yang pas untuk berbincang kecil sebelum benar-benar tidur agar kembali bugar esok hari.

Ditemani amukan ombak, keduanya seakan tak takut akan terhantam gelombangnya. Sudah menjadi risiko jika menjadi  pekerja offshore seperti mereka.

“Pak, kenapa memutuskan menjadi derrickman offshore yang menantang maut?” tanya Darpa dengan alis tertaut.

Lelaki di sampingnya terkekeh kecil. “Bayarannya tinggi.”

Mendengar jawaban itu, mau tak mau Darpa ikut terkekeh. Benar juga. Ia yang berada di bagian roustaboth saja, bisa merenovasi rumah orang tua meski baru bekerja beberapa bulan, apa lagi lelaki itu yang berada di atasnya?

“Seriusnya, karena saya tidak takut mati, Darpa. Pekerjaan bukan semata tentang uang, tapi juga dedikasi. Juga, saya sekeluarga pernah berada di titik di mana kami sudah pasrah kalau tidak bisa makan.”

Senyum kecil Darpa terbit, ternyata benar, setiap orang memiliki kisah pilunya masing-masing.

Derrickman itu menoleh pada Darpa. “Kamu tahu apa yang membuat saya bangkit?”

Sontak saja Darpa menggeleng.

“Kota Isfahan.” Dua kata itu sukses membuat Darpa mengerutkan kening. “Ibu saya dulu sering bercerita tentang Kota Isfahan, tempat lahirnya Salman Al-Farisi. Isfahan punya sejarah panjang jatuh bangunnya. Menjadi ibu kota provinsi masa Kerajaan Parthian, menjadi tempat tinggalnya keluarga suci Iran era Sasanid, basis kekuatan Dinasti Buwaihi, pusat peradaban Seljuk, mengalami kemunduran era Timurid, kembali jaya lagi masa Safaw, hingga mundur lagi saat Safaw ditaklukkan Afganistan.”

Darpa masih mencoba menerka akan ke mana kalimat panjang itu bermuara.

“Dari sana saya sadar, bahwa Tuhan memang sudah mengatur jatuh bangunnya suatu kaum dan itu memang perlu. Tidak peduli berada di bawah atau di atas, syukur harus selalu diterapkan. Salah satu caranya, dengan tidak merasa takut atas yang telah ditetapkan Tuhan. Jikalau kematian kita ditakdirkan di kilang minyak ini, setidaknya kita bisa seperti Kota Isfahan yang dikenang karena sejarahnya. Yang tiada adalah jasad, tetapi nama kita tetap.”

-o0o-

Muli dari cerita ini, adalah fiksi mini dari Instagram yang kusalin. Seharusnya untuk challenge menulis dari salah satu penerbit, hanya saja terkendala pada ketidakkonsistenanku sendiri. So, I repost it here.

Rhythm RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang