Entah bagaimana caranya kami bisa dekat. Bukan--maksudku, bukan dekat seperti itu. Utta juga seniorku sekolah dulu, dua tingkat di atasku, jadi setingkat di atas Adnan. Kami tak pernah terlibat perbincangan langsung andai bukan di organisasi aku pernah bernaung. Semuanya bias, aku bahkan tak mengenalnya secara personal. Jadi, bisa sedekat sekarang, hingga berani saling melempar bungkus rokok itu agak mengejutkan. Sebangsa kucing dan tikus, begitulah sederhananya.
Selesai rapat dengan Adnan dan yang lain, kami diajak ngopi santai di rumah Utta. Aku ikut-ikut saja karena memang belum ingin pulang, lagipula masih jam sembilan, masih cukup sore buatku.
Aku pikir akan ada rekan perempuan, atau setidaknya aku pikir adik perempuan Utta yang seumuranku akan bergabung, ternyata tidak. Aku harus puas menjadi akal-akalan enam lelaki di sana, menjadi bahan rundungan. Untung saja mereka memang anak yang luar biasa tahu bagaimana cara menghargai perempuan.
Ngobrol ngalor-ngidul tentu jadi agenda wajib, selain cekcok berulangku dengan Utta tentu. Bahkan di sekitarku lumayan penuh kulit kacang berserakan, Utta tersangka yang melempar.
"Ganti bahasan, deh. Dari tadi masalah ridho Allah sama orang tua mulu." Adnan tampaknya sudah frustrasi. Wajar saja, dari tadi, yang kudengar mereka debat kusir perkara yang satu itu, segala macam dalil sudah muncul.
"Salah sendiri, perkara kayak gitu didebatin," cibirku.
Sekali lagi kulit kacang mendarat di pangkuanku, Utta sialan. Dengan santai ia menimpali, "Ya udah, ganti. Aslinya, nama kita itu siapa?"
Fiuh, ia kembali berulah. Bukan apa-apa, keseringan pertanyaan Utta itu cuma aku yang paham. Lihat saja tampang yang lain, cuma mengerjap dan mangap-mangap.
"Ya kalau aku sih, Adnan. Kan namaku Adnan." Tentu saja Adnan tak salah, apa lagi? Masalahnya, aku tahu yang dimaksud Utta bukan seperti itu.
"Emang Kak Utta yakin kalau diri sendiri asli?" Baiklah, mari memancing perseteruan lagi.
"Gimana, Yu?"
Atensi yang lain pun beralih padaku.
"Ya gitu. Kak Utta nanya gitu emang yakin kalau nama Utta itu asli?" ulangku, semoga ia paham agar aku tak mengulang untuk ketiga kali.
"Ya kalau ditanya ya aku memang Utta. Dari lahir dikasih nama begitu, loh. Orang-orang ngenalin aku ya dengan nama Utta," balasnya kelewat santai.
Aku hanya manggut-manggut, biar saja dia frustrasi dengan responsku, juga jawabannya sendiri. Pasalnya, ia paham betul bukan itu yang ingin ia dengar dari orang lain--andai bukan ia yang menjawab.
"Bentar-bentar, ini kok kayak masih ambigu, ya?" Tama menegakkan punggung, menyandar sepenuhnya pada tiang rumah Utta. "Maksud pertanyaan Kak Utta gimana, sih? Kayak ada yang janggal."
Sambil meraih gelas kopi milikku, aku tertawa mengejek. "Biarin aja dia pusing sendiri, Tam."
Jika aku tak refleks menghindar, barangkali peci milik Adnan sudah mengenai wajah. Utta sialan, untung pula aku tak menyemburkan kopi yang baru saja kuminum. "Salah lagi," keluhku.
"Mending kamu jawab yang bener, Yu. Daripada buat aku senewen sendiri." Begitulah Utta dengan sifat otoriternya. Ya ... terbawa privilege senior saja, toh aslinya aku (sudah) tak takut.
"Aku?" Kuletakkan gelas kembali ke tempat, lantas membuat dua tangan menjadi penyangga ke belakang dengan berselonjor kaki. "Emang ada 'aku'? Aku itu nggak ada, orang-orang aja yang suka ngaku-ngaku dengan kata 'aku'. Akuan-akuan bangsat!"
Oh Tuhan, enam lelaki ini benar-benar membuatku tak habis pikir. Apa yang salah? Mereka tersedak bersamaan.
Sedang yang lain tampak masih bingung, Utta sudah menangkap maksud yang aku utarakan. Ia berucap, "Tapi di sini kita bahas 'aku' yang permukaan loh, Yu. Sumpah! Jangan ngomongin konteks sejauh itu dulu."
Aku hanya mengedikkan bahu. Siapa suruh memaksaku menjawab, padahal aku sudah mati-matian menahan diri agar tetap diam.
Utta yang tadi juga selonjor kaki mengubah posisi menjadi bersila, sedikit mencondongkan tubuh ke depan. "Gini deh, misal nih, ada orang yang nanya, aku itu siapa, udah pasti kujawab Utta. Gitu, kan?"
"Ya terus buat apa butuh jawabanku kalau jawaban Kak Adnan udah sesuai ekspektasi? Buang-buang tenaga banget buat nanyain jawabanku juga. Aku jadi ikut buang-buang tenaga sama waktu buat jawab." Mendengar balasanku Utta melotot, yang lain tertawa. "Bener, dong? Salah lagi?"
Beralih pada sepupuku--Tama--Utta kembali membuka suara, "Tam, mbakmu ini titisan spesies mana, sih? Ngeselin parah."
Sekalian saja kubalas cibiran, "Dirinya sendiri ngeselin, dasar nggak ngaca."
Sekali lagi, kulit kacang mendarat di atas pangkuan.
-o0o-
Utta ini ... dia bener-bener aku versi cowok setelah kenal deket.
Sesuai gambaran singkat, bisa kenal si Utta lebih deket itu sesuatu yang nggak terduga banget, mengingat dia senior yang paling aku takutin dulu zaman SMA🤣 Gara-gara akhir-akhir ini terseret urusan yang sama bareng dia, jadi ikut terseret ke circle anak-anak kampung dia pula. Hidup emang funny.
Enjoy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rhythm Rhapsody
Historia CortaONESHOOT (Cerpen, flashfiction, fiksi mini) Apa yang diciptakan oleh Tuhan, selalu memiliki iramanya masing-masing. Hewan, tumbuhan, benda mati, manusia, detak jantung, hingga peredaran darah dalam urat nadimu. Kesan bahagia akan selalu ada, tak ped...