Malakut

54 6 0
                                    

Alih-alih forum gosip, tongkrongan berisi empat pemuda dengan satu perempuan itu justru sibuk membicarakan Tuhan, agama, dan perintilan di dalamnya. Dengan cangkir-cangkir kopi yang isinya sisa setengah, mereka menikmati suasana pukul sebelas malam itu sambil sesekali mengepulkan asap rokok hasil melinting sendiri. 

Yua, satu-satunya perempuan di sana, yang juga mengambil peran dalam beberapa cerita sebelumnya, tampak sama sekali tak terganggu. Ia justru asyik terbahak saat lelucon tingkat tinggi yang terlontar dari salah satu teman menyentil sisi humornya. 

Dipandang aneh pengunjung lain? Sudah pasti. Sudah malam, perempuan, dengan geng laki-laki pula, tanpa risi sama sekali. Apa kira-kira isi otak orang lain? Sudah jelas jawabannya adalah pikiran negatif. Namun, Yua tak peduli. Persetan dengan opini orang-orang, apa lagi yang tidak dikenalnya.

"Sumpah, Yu? Lo juga rakyat Djancukers-nya Sujiwo Tedjo?" Setelah mengembuskan asap rokok ke udara sambil terbatuk, Wirid melotot ke arah perempuan berjilbab di sampingnya. Hampir saja tangannya bertengger di pundak Yua, tetapi langsung ditepis kasar oleh perempuan itu.

"Yoi. Lo pikir jadi warga di negara yang super lucu ini udah cukup? Harus all out, dong." Yua tetap santai sambil mencomot mendoan di depannya. Sekali menelan, ia beralih fokus pada Aqsa yang memangku sebuah gitar. "Mainin lagu indie apa kek, Sa? Daripada jrang-jreng nggak jelas."

Aqsa tak menanggapi banyak, melainkan langsung memainkan gitarnya. Bukan sesuai permintaan Yua tentu saja, yang ia mainkan adalah lagu lawas yang dinyanyikan oleh grup Boomerang berjudul Milik-Mu.

Suasana renyah seketika berubah menjadi ajang renungan dosa. 

"Aqsa sialan!" umpat Ferdi, diikuti umpatan-umpatan yang lain dari mereka yang ada di sana.

Lain halnya dengan Ferdi, Itqa, dan Wirid yang mengumpat, perempuan itu justru memanfaatkan atmosfer yang tercipta untuk bertanya lebih jauh, "Pernah denger alam Malakut?"

Aqsa menghentikan petikan gitar seketika. Matanya melirik Yua tajam, bukan karena marah, lebih karena Aqsa memang begitu. 

"Malik? Sang Penguasa," celetuk Itqa.

"Malak, pasukan Sang Penguasa," sambung Ferdi.

Wirid membuka mulut lebar, tak menyangka para kawan cepat tanggap dengan pertanyaan Yua. Ia pun ikut menjawab, "Muluk, tempat yang dikuasai Sang Penguasa."

Perlahan, jemari Aqsa kembali memetik senar dengan lamban, hingga menimbulkan melodi acak yang sebenarnya cukup selaras, tidak kacau. "Kenapa tiba-tiba nanya gituan?"

Suara grasak-grusuk terdengar saat Yua sibuk membetulkan jilbabnya yang sedikit melorot. "Pengen tahu pendapat kalian aja."

Keempat lelaki itu mengangguk paham, sementara Yua masih melemparkan tatapan tanya. 

"Malakut, tempat antara hidup dan mati, tempat para ruh." Aqsa menutup penjelasan sebelumnya.

Di bawah lampu angkringan yang cukup remang itu, mereka berempat masih bisa dengan jelas memperhatikan wajah Yua yang benar-benar polos, tanpa make up sedikit pun. Sangat berbeda dari beberapa pengunjung perempuan yang dari tadi lalu lalang di sekitar mereka. 

Meski begitu, Yua sama sekali tak peduli. Bibir pucat bak orang kedinginan miliknya pun tak dihiraukan. Beberapa protes dari Ferdi dan Itqa kadang diterimanya, tetapi Yua selalu punya cara jitu untuk membungkam mereka. "Beliin kalau gitu". Begitulah kalimat andalan Yua, sangat tidak tahu diri.

Ah ... dengan isi otaknya itu, Yua memang lebih cocok menjadi orang yang "bukan kebanyakan".

"Kayak gimana alam Malakut itu?" tanya Yua lagi.

"Andalin imajinasi lo, itu jawabannya," pungkas Aqsa.

Dahi perempuan itu berkerut dalam, belum paham apa maksud lelaki itu. Atau mungkin ... sedang menyusun penyangkalan. 

"Imajinasi? Berarti alam itu nggak nyata? Malaikat yang bersemayam di sana juga nggak nyata? Malik, Malak, dan Muluk juga nggak nyata. Iya, dong. Kalau kita berhenti berimajinasi, otomatis semuanya nggak nyata." Cecaran panjang Yua berhasil membuat Ferdi dan Itqa meringis. Namun, sebuah sentilan keras juga berhasil mendarat di dahi Yua, Wirid tersangkanya.

Geraman Yua lolos. Sambil menatap Wirid tajam, ia berkata, "Tangan lo yang suka celamitan itu, kalau sekali lagi nyentuh kulit gue, gue patahin. Biar tahu rasa sekalian."

Tak lama, Yua melayangkan pukulan ke lengan Wirid yang tertutup lengan baju hingga lelaki itu oleng dari duduk.

"Yua bar-bar," keluh Wirid, "ya abis pertanyaan lo aneh-aneh."

"Bodo amat." Yua beralih pada Aqsa. "Jadi?"

"Imajinasi lo di sini bukan berperan buat ngebuktiin kalau Malik, Malak, Muluk, dan alam Malakut itu ada. Karena tanpa lo repot cari bukti pun, semua itu ada buat mereka yang yakin, persetan sama keyakinan lo. Toh urusan lo mau percaya atau nggak." Ucapan Aqsa sontak mengundang tepuk tangan heboh dari yang lain. Lagi-lagi, mereka jadi pusat perhatian karena saking hebohnya.

Setelah mendengar Yua berdecak, Aqsa kembali melanjutkan, "Imajinasi lo itu diperluin buat ngira-ngira gimana keadaan di sana. Kalau lo pikir di sana banyak api, ya di sana bakal banyak api. Jelas, itu di imajinasi lo. Kalau imajinasi gue tentang tempat itu bagus, padang rumput, ya itu yang bakal gue percaya. Everyone's opinion is different, Yua. Opini orang nggak bakal berpengaruh sama kebenaran itu sendiri.

"Lo juga harus sadar bahwa, tiap orang punya batas pemahaman dan alam Malakut itu termasuk hal yang berada di luar batas pemahaman manusia. Itu menurut gue. Makanya gue bilang, persetan sama keyakinan lo, karena gue nggak bisa memaksakan keyakinan gue ke lo."

Yua hanya bisa terdiam sambil menggerak-gerakan cangkir kopinya. Sepertinya, penjelasan itu cukup baginya, sangat cukup. 

"Puas, Tuan Putri?" cibir Wirid, "dah ah, sono pulang, dah malem, Yu. Ntar lo dicariin."

"Dicariin apaan? Yakin gue, sampe rumah pasti orang rumah bilangnya, "tumben jam segini udah pulang?' gitu," celetuk perempuan itu.

Bukan Yua yang beranjak, melainkan Aqsa. "Pulang. Gue nggak mau liat lo balik ke sini cuma buat ngerengek karena nggak bisa ngeluarin motor dari parkiran. Ayo."

Sementara Yua meringis, tiga pemuda yang tersisa, tergelak di tempatnya.

-o0o-

Heiyoo, mengobati rindu sama project ini.
Em ... oke, suasana di part ini real, suasana tongkrongan aku. Jadi, bisa ditebak siapa Yua itu, haha. But, dialognya aku mix dari hasil dialog sama Bapak, beberapa temen, dan hasil baca bukunya Abah. Meski begitu, jika ada yang salah penjelasan atau penyampaian, jangan sungkan buat koreksi.

See you kalau aku nggak males. Kalau senggang juga.

Rhythm RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang