Warning. Cerita ini sangat ringan, seringan dia ngajak nikah, eh ... upload poto cewek lain.
-o0o-
Sembari sesekali melihat layar HP yang tak butut-butut amat, penyanyi gerobak itu terus melantunkan suaranya. Lagu Alamat Palsu yang dipilih pagi itu, memenuhi lorong antara pasar dan kios keperluan pertukangan. Tak banyak yang tampak tertarik. Jelas, mayoritas yang lalu lalang hanya ibu-ibu bertubuh tambun, berpakaian daster lengan pendek, tetapi memakai jilbab instan seadanya. Sungguh, pemandangan yang sangat biasa.
Ada juga si bapak-bapak tukang parkir. Sejak subuh sepertinya sudah berdiri garang dengan peluit tergantung di leher. Entah apa fungsi peluit itu, pajangan mungkin. Wong yang parkir di sana hanya sepeda motor yang tak perlu diberi aba-aba, "Mundur-mundur, maju dikit, iya langsung jalan.". Ya bagaimana? Jalanannya saja kecil, cukup untuk dilewati dua motor saja sudah syukur. Tempat parkirnya ya, di emperan-emperan tak seberapa itu.
Ada juga si penunggu emak-emak sedang belanja. Ya ... manusia-manusia yang bertransformasi menjadi tukang ojek seperti aku ini contohnya. Terlampau pasrah saat dimintai tarif parkir, padahal motornya kujaga sendiri. Cara mencari uang memang kadang selucu itu.
Bertindak layaknya mendapat banyak pesan, aku fokus pada HP. Padahal ya, cuma scroll Instagram yang menampilkan banyak laki-laki tampan asal Korea itu. Kasihan, tak ada yang chat, makanya cari hiburan.
Sebenarnya sembari meluapkan kekesalan juga. Beberapa menit lalu aku baru saja disuntik vaksin made in China, Sinovac. Petugasnya banyak tanya atau ... memang aku yang baperan. Awalnya ditanya tentang nama, "Mbak namanya memang cuma tiga huruf?"
Kuperhatikan, bapak-bapak itu masih geleng-geleng tak habis pikir. Melihatku, lalu ke fotokopian KTP-ku. Mau dipelototin sampai meloncat itu biji mata juga, namaku akan tetap tiga huruf. Kecuali kalau si bapak mau membiayai upacara ganti namaku, sih. Sekadar bubur merah, bubur putih kalau di sini. Masalahnya, bapakku di rumah itu terlanjur jatuh cinta sama nama anak sulungnya yang singkat, padat, dan jelas ini. Biar tak seperti amanat pembina tiap upacara, panjang.
Sudah begitu, formulir vaksinasi juga seakan berkonspirasi membuatku keki. Ya memang perlu, dasar aku saja yang kelewat malas menjawab tiap pertanyaan si bapak-bapak.
"Mbak, sedang hamil atau menyusui, tidak?"
Nah ... itu dia yang buat aku ingin ngakak sekaligus melempar novel yang kubawa ke sembarang arah. "Nggak, Pak."
Jika si bapak adalah temanku, kuyakin dia akan ngeri jika melihat senyum—pura-pura—manisku. Hah, biarkan sajalah.
Pertanyaan untuk mengisi kolom-kolom kosong dalam formulir itu berlanjut, "Mbak, sudah nikah?"
Tolong ... entah siapa yang menyusun pertanyaan itu. Bukankah seharusnya pertanyaan status menikah didahulukan daripada hamil dan menyusui. Tak habis pikir aku.
"Belum, Pak." Oke, aku yakin jika melepas masker, si bapak akan tahu ekspresi cengoku. Novel di tangan sampai kugulung gemas karenanya.
Bukannya langsung lanjut, si bapak malah cekikikan. "Owalah ... pantas saja nggak hamil sama menyusui, wong belum nikah ternyata."
Astaga, Pak. Nyumpahin orang tua salah atau tidak, sih? Sabar, orang sabar cepat ketemu jodoh, aamiin. Percayalah, itu pencitraan. Wong masih suka keluyuran sampai tengah malam kok, gaya-gaya ngomongin jodoh.
Beda dari sebelumnya, selesai divaksin tadi, aku malah merasa kurang ajar sama diri sendiri. Petugas puskesmas dengan rambut sebahu itu berkata, "Mbak, setelah ini istirahat lima belas menit dulu, ya. Duduk-duduk aja dulu di luar."
Sebagai orang yang ingin terlihat baik, otomatis aku mengangguk. Baru saja duduk di kursi plastik, kutoel bahu sepupuku yang sudah selesai lebih dulu. "Wey, pulang, yok?"
"Hah? Sekarang?" tanyanya. Matanya sudah melotot menanggapi ajakanku.
"Besok pagi." Maafkan orang satu ini.
"Kan kamu baru selesai, Mbak. Belum ada lima belas menit, loh." Simpan kekhawatiranmu itu, Adik sepupuku.
"Tenang, nggak bakal mati kali. Paling juga kalau lemes, pingsan." Seketika ia menggeplak kepalaku. Bukannya marah, aku malah tertawa. The real mendzalimi diri sendiri ini namanya, kurang ajar.
Sampai di luar, aku sudah ditunggu oleh ibuku tercinta yang selesai bermenit-menit lebih dulu. Maklum, tadi aku dipanggil dan tidak dengar. Salahkan saja novel yang kubaca kenapa seru.
"Yok, langsung ke pasar."
Begitulah bagaimana aku berakhir di parkiran pasar seperti ini.
Omong-omong, karena melihat mbak-mbak tomboi di ujung lorong, aku jadi ingat percakapan dengan Bapak malam tadi.
Kebetulan sofa di rumah nenekku ada di teras rumah karena siangnya ada pengajian muslimat. Aku diminta membantu mengembalikannya ke dalam.
"Vi, sana bantu bapakmu angkat sofa." Ibuku memerintah bak mandor.
Oke, satu sofa panjang berhasil mendarat di tempat seharusnya. Selanjutnya sofa pendek.
"Karena itu pendek, kamu angkat sendiri, ya."
Sudah pasti aku melongo mendengarnya. Ayolah, aku sudah membantu mengeluarkan sofa itu kemarin dan berat.
"Gini-gini aku masih anak cewek, loh. Tenaganya jangan dibandingin sama anak cowok atau kuli, lah. Udah pasti beda." Protesan ala teman kulontarkan. Ya, memang begitu. Aku terlampau sering melempar banyolan juga dengan bapakku.
Bukannya luluh atau setidaknya simpati, Bapak malah mengeluarkan jurus andalannya, mulut cabai. "Cewek dari sisi sebelah mana sih, kamu? Nggak ada cewek-ceweknya gitu."
Orang sabar cepat ketemu jodoh. Sempat kesal juga semalam karena tawa tetangga seketika bak terompet kematian. Ya sudah, lah. Apa mau dikata, wong memang aku ini seperti anak cowok penampilan sama tingkahnya.
Kembali ke pasar, tiba-tiba ibuku datang dengan menenteng satu plastik cendol dengan warna yang amat kubenci, pink. Kadang aku bertanya-tanya, kenapa para pedagang cendol itu cepat sekali puas dengan hasil karya yang itu-itu saja? Setidaknya, sesekali pakailah pewarna sesuai seleraku, hitam misal. Tak berani protes secara terang-terangan, nanti kena geplak lagi. Mungkin semua ini gara-gara vaksin.
"Nanti ikut Ibu ke rumah saudara."
Iya-iya, selamat datang, Neraka dunia.
-o0o-
Ya ... intinya jangan hujat aku. Hujat juga nggak apa-apa, sih. I am woles.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rhythm Rhapsody
Short StoryONESHOOT (Cerpen, flashfiction, fiksi mini) Apa yang diciptakan oleh Tuhan, selalu memiliki iramanya masing-masing. Hewan, tumbuhan, benda mati, manusia, detak jantung, hingga peredaran darah dalam urat nadimu. Kesan bahagia akan selalu ada, tak ped...