Gandrung dan Kewarasan

136 31 21
                                    

"Set your life on fire. Seek those who fan your flames."

-Maulana Jalaluddin Rumi-

-o0o-

Guntur menggelegar beberapa kali dengan suara luar biasa kencang. Kilat pun tampak menyambar mengerikan di langit malam itu. Mulanya, hanya rintik kecil yang terdengar bertumbukan dengan aspal jalan. Lama-lama, butiran air seperti ditumpahkan.

Basah kuyub, begitu keadaan gadis itu kini. Cardigan putih tipis, rok plisket dusty pink, dengan rambut panjang lepek, sempurna. Ia terlihat mengenaskan.

Dengan gigi bergemeletuk dan tubuh menggigil, ia terus berjalan membelah derasnya hujan. Sesekali, ia mengusap wajah, menyingkirkan titik-titik air di sekitar mata yang kemungkinan mengaburkan pandangan. Tak lupa setelah itu akan kembali memeluk diri sendiri.

"Aku hanya korban. Kenapa aku yang mendapat hukuman?" Ia terus bermonolog sepanjang jalan. Air matanya sudah bercampur dengan rinai yang sedari tadi turun. Tak bisa dibedakan lagi.

Jujur saja, ia tak tahu harus ke mana. Meneduh pun, tak bisa. Hanya ada pohon yang berjajar di kanan dan kiri, tak satu pun bangunan berdiri di lingkungan itu.

Sambil terus meratapi keadaan, ia mati-matian menahan diri untuk tidak menyalahkan Tuhan. "Kenapa harus aku?"

Dua ratus meter sebelum jalan besar, suara klakson dari belakang menghentikan langkahnya. Seorang pria bergaya flamboyan keluar dari dalam mobil, lengkap dengan payung yang melindungi dirinya.

"Kenapa kamu hujan-hujan, Nona? Ini bahkan sudah jam sepuluh malam," ucapnya sedikit berteriak agar suaranya terdengar di tengah derasnya hujan.

Perempuan itu menampakkan raut ketakutan. Ia menunduk dalam, tak berani menjawab.

"Hei, jangan takut. Aku bukan orang jahat. Setidaknya, kamu butuh bantuanku untuk berteduh. Kamu sudah kedinginan." Lelaki itu mendekatkan diri, memayungi perempuan di hadapannya. "Ayo, tak apa. Aku janji tak akan berbuat macam-macam pada kaumnya ibuku."

Perempuan itu mengangguk sambil menyunggingkan senyum tipis.

Setelah berada di dalam mobil, sebuah jaket kulit terulur pada perempuan itu. "Pakai saja. Aku memang selalu membawa jaket di mobil."

Setelah mengatakannya, lelaki itu membuka jas mahal yang dikenakan karena sedikit basah, hingga menyisakan kemeja maroon lengan panjang.

"Terima kasih, Tuan."

"Panggil Ge saja. Lagipula, sepertinya kita seumuran. Siapa namamu?" Ge mulai memasang sabuk pengamannya dan melajukan mobil.

"Sasmita Padmarini." Jaket dirapatkannya karena udara masih saja dingin. Jelas saja, pakaiannya yang lain basah.

"Nama yang cantik. Kalau boleh tahu, kenapa kamu hujan-hujan seperti tadi, Sas? Bukannya lebih enak tidur di rumah?" tanya Ge setelah melirik perempuan itu sekilas.

Sas menunduk, bingung mau berkata apa. Bercerita di awal pertemuan, bukan hal etis untuk dilakukan. Namun, ia juga bepikir bahwa Ge pasti membutuhkan sedikit informasi. Setidaknya, alasan kenapa ia harus membantu Sas.

"Sasmita?" Ucapan Ge mengejutkan Sas yang sempat melamun. "Apa aku salah bertanya?"

Sas menggeleng. Ditatapnya Ge dari samping dengan sendu. Setelah menghela napas panjang, ia mulai berujar, "Aku diusir dari rumah."

Ge menghentikan mobil secara mendadak hingga tubuh keduanya terayun ke depan. Untung saja mereka memasang sabuk pengaman.

"Maaf, aku terkejut." Mobil kembali dijalankan dengan pelan. Terang saja, hujan semakin deras. "Ehm ... bagaimana jika kamu bermalam dulu di rumahku? Bukan bermaksud apa-apa, serius. Di rumah juga ada asisten rumah tangga, jadi aman."

Rhythm RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang