03

9.3K 646 34
                                    

Nama yang indah tak mesti memiliki kehidupan yang indah pula.

-Queen Zalena Andromeda-

•••

Zalen mengemut permen dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku jaket. Di belakangnya sudah ada Adkha yang membawa koper berisi semua pakaian yang dimiliki gadis itu. Jujur, err, pakaian Zalen asli sedikit kuno menurut seorang Maura yang selalu modis. Tapi itu tak masalah, setelah istirahat beberapa waktu Dia akan pergi berbelanja ke mall.

"Ayo masuk!" Tutur Adkha dan dibalas anggukan kecil adiknya. Kedua kakak beradik itu berjalan memasuki sebuah rumah sederhana bernuansa krem. Walau terlihat sederhana, tapi halamannya yang begitu luas dengan taman juga kolam yang menambah kesan indah sudah menjadi nilai plus di tempat itu.

Saat memasuki rumah, dalamnya begitu sepi. Tak ada seorang pun yang menyambut kedatangan mereka berdua. Kening Zalen mengernyit, "Bang."

"Hm?"

"Kok sepi? Orangtua kita mana? Kerja?"

Langkah Adkha memelan seiring memproses pertanyaan gadis itu. Tenggorokannya tercekat, namun Dia juga harus mengucapkan beberapa kata yang menjadi kenyataan pahit. Lelaki itu menghela napas, "Papa masuk penjara dan Mama meninggal tiga tahun lalu." Kedua mata Adkha memanas saat itu juga. Zalen yang melihatnya tercengang, tak menyangka kehidupan seorang Queen Zalena Andromeda semiris itu.

Benar, nama yang indah tak mesti memiliki kehidupan yang indah pula.

Tanpa kata, tanpa peringatan, Zalen memeluk Adkha. Berusaha memberi kekuatan dan kehangatan bagi sesama saudara. Mungkin Dia bukanlah Zalen asli, tapi setidaknya Dia bisa merasakan bagaiamana rasanya memiliki seorang kakak. Ya, walaupun pasti ada timbal baliknya. Jiwa Maura kembali menjadi murid kelas 10. Huh, kenapa Dia harus mengulang lagi? Dia bukan orang jenius yang memiliki IQ di atas rata-rata. Dia tak sepintar itu.

Adkha terdiam sejenak, Ia merasakan aliran darahnya berdesir. Rasa hangat menjalar. Senyum tipis mengembang. Baginya, ini pertama kali Zalen berani memeluknya tanpa harus dipaksa terlebih dahulu. Seakan-akan Zalen yang dahulu bersamanya telah menghilang dan digantikan Zalen yang baru.

"Udah pelukannya, kapan selesainya kalau gini?" Adkha menguraikan pelukan mereka dan tersenyum kecil saat melihat pipi Zalen yang sedikit memerah. "Ciee, malu." Godanya dan dibalas delikan mata.

Plak

Gadis berambut coklat kemerahan itu memukul bahu Adkha, "Apaan sih Lo, Bang!" Zalen berusaha menutupi raut wajahnya yang malu dan kemudian berlari ke sebuah kamar dengan pintu terbuka. Adkha tertawa lalu memutuskan mengikuti ke mana adiknya itu melarikan diri. "Untung adik, kalau bukan udah pasti Gue nikahin dah." Gumamnya dengan senyum yang tak pernah luntur.

Laki-laki itu kemudian meletakkan koper di pojok kamar dan terus memperhatikan Zalen yang sibuk berkeliling kamar. Di ruangan bernuansa abu-abu dan putih terdapat meja belajar, kasur queen size, nakas, sofa panjang beserta meja kecil, kamar mandi, lemari pakaian, ruangan perpustakaan pribadi, rak sepatu, dan meja yang berisi tempat untuk bermain game.

"Gila, mantap banget dah nih kamar Zalen. Gue pastiin bakal betah di kamar seharian kalau gini. Apalagi ada kulkas sama rak khusus buat ngisi cemilan sama minuman dingin." Zalen menggumam dengan sangat pelan, takut jika Adkha mendengarnya.

"Abang keluar ya, Kamu istirahat, jangan aneh-aneh. Kalau butuhin sesuatu Kamu bisa minta ke Teteh Sinta atau Abang." Zalen hanya mengangguk sebagai respon. Setelah kepergian Adkha dan pintu tertutup rapat, Dia mengunci kamar dan segera membuka laptop yang dimiliki oleh Zalen asli. Untungnya tidak ada password atau segala macam, jadi itu memudahkannya untuk mencari tahu keadaan orang-orang terdekatnya setelah kematiannya.

Pertama-tama, Dia melihat di layar keadaan Sandra, Mamanya, yang menangis di kamarnya. Jujur, ada rasa tsk tega. Namun itu tak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh wanita itu dan mantan suaminya yang sudah menelantarkan dirinya juga adiknya sejak kecil.

Kedua, Dia melihat sosok Aezar, cinta pertamanya, sedang mengobrol di makam Maura. Air mata Zalen luruh, hatinya serasa dipukul keras oleh senjata godam tak kasat mata. Perih rasanya melihat tatapan terluka yang diberikan oleh lelaki itu. "Maaf Gue udah ninggalin Lo tanpa ngasih kesempatan buat nyatain perasaan Lo, Zar. Yang harus Lo tahu, Gue sayang sama Lo juga, Lo cinta pertama Gue sampai sekarang." Gumamnya disela isakan.

Setelah puas meluapkan semua kesedihan juga rasa bersalah, Zalen lanjut membuka rekaman berisi Cheisya dan Shelma yang mengobrol di undakan tangga sekolah. Sebuah tempat yang selalu menjadi tempat obrolan mereka, Crszyers. Keningnya mengerut saat tak melihat kehadiran Felicia, Zahna, maupun Bella.

Tatapannya terkunci pada seorang gadis dengan pipi tembam yang sangat dikenalnya sedang sibuk memukul samsak di sebuah Gym. Sudah jelas jika Dia bolos sekolah. "Lo ternyata udah sedikit berubah ya, Zah. Lo udah pinter bolos." Dia terkekeh, lalu kemudian mencoba kembali fokus dan menemukan Rega, Papanya, sedang bekerja mengerjakan berkas di ruangannya seperti biasa.

Zalen tertawa hambar, "Ternyata cuma harapan semu yang Maura harap dari Papa. Papa masih sama, sibuk sama pekerjaan sialan itu. Maura pikir kalau Maura pergi, Papa setidaknya bakal sayang sama Vero, apa Papa nggak berpikir tentang kebahagiaan psikis Aku sama Vero Pa?"

Karena sudah muak, Zalen menutup laptop dan menatap langit-langit kamar. Mulutnya terkunci, tenggorokannya terasa mencekat, dan ulu hatinya sakit karena menerima rasa bersalah, benci, dan sedih secara bersamaan.

"Kenapa Gue nggak dapat kebahagiaan mau itu di kehidupan pertama sampai kehidupan kedua Gue? Apa Gue nggak pantas buat bahagia secuil aja?"

•••

Zalen menata dasinya yang miring dan kemudian menatap kaca yang menampilkan dirinya yang baru. Senyum tipis terukir, membuat Dia terlihat manis dengan seragamnya yang berwarna hijau tosca. "Semangat!" Gadis itu mengepalkam tangannya, berusaha memberi semangat pada dirinya sendiri lalu mengambil tas yang berisi barang penting maupun tidak.

Di ruang makan sudah ada Adkha yang sedang mengoleskan selai kacang ke roti tawar. "Pagi!" Sapa Zalen dengan raut wajah ceria. "Too, ayo sarapan dulu. Jangan sampai Kamu lemas pas upacara nanti. Oh iya, kata Bu Elisa selaku kepala sekolah pengen ketemu Kamu." Kening Zalen mengerut, "Ada apan? Gue buat masalah?"

Adkha tersenyum singkat pada gadis itu dan menggeleng, "Nggak. Cuma sekedar masalah Olimpiade Fisika yang bakal Kamu ikutin."

"WHAT?!"

Oh God, itu masalah untuk seorang Maura,  okay! Dia hanya orang yang memiliki otak di rata-rata, otak orang normal! Dan lagi, seumur hidupnya pun Dia belum pernah mengikuyi Olimpiade. Dan sekarang Zalen harus dihadapkan pada kenyataan jika Dia adalah anak Olimpiade?! Fuck!

Adkha menatap Zalen aneh, "Kenapa? Kok syok gitu? Bukannya Kamu udah biasa ya?" Oke, Dia mulai curiga jika ada yang tak beres dengan adik perempuannya. Kecurigaannya semakin kuat saat laki-laki itu mengamati respon Zalen. Sedangkan gadis itu gugup setengah mati karena mendapat tatapan curiga dari orang yang berstatus kakaknya, "I-itu, Eum, Ta-tadi-"

Ting tong

Selamat, Makasih Ya Robb.




The Transmigration of Souls : The Same World [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang