52

1.2K 146 15
                                    

Hal terkuat yang dapat kamu lakukan adalah yang benar. Hal yang paling kuat darimu adalah dirimu sendiri.

-Maxime Lagacé-

•••

"CECE!"

"ZALEN!"

Angkara menjitak kepala Basil tanpa rasa bersalah. Dia berujar, "Image Lo tolong dikondisikan." Basil mengusap kepalanya yang berdenyut dan menatap ketuanya memelas. "Jahat banget sih, Lo, Bos sama anggota ndiri." Rajuknya.

Sang ketua Pasific mengernyit jijik, "Emang Lo anggota Gue?"

Tubuh Adhka membeku sesaat. Matanya berkaca-kaca saat melihat keadaan Zalen yang bisa dibilang tidak baik. Lagi dan lagi Dia melihat keadaan adiknya yang mengenaskan. Sangat-sangat mengenaskan, bahkan lebih parah daripada pembulian yang dulu selalu adiknya dapatkan dari anak-anak nakal di SMA Hengaladon.

Sammy mengkode ketuanya untuk maju. Laki-laki itu berbisik, "Maju aja, Ad." Adhka menahan napasnya sejenak. Rasa bersalah semakin menghantuinya saat kata-kata malam itu datang bagaikan kaset rusak di pikirannya.

"Bang..."

Napas Adhka tercekat saat mendengar suara dari gadis itu. Tatapan Mereka bertemu. Ada sorot kerinduan yang tak bisa dijelaskan. Ingatlah, tatapan itu penuh akan kerinduan pada saudara. Tidak lebih. Iya, kan?

Tanpa kata, Adhka segera memeluk tubuh Zalen yang dipenuhi oleh luka. Dia sama sekali tak mempedulikan darah yang merembes ke bajunya. Lagipula Dia juga terluka, kan? Bahkan goresan di tubuhnya Ia acuhkan. Tubuh yang terasa mati rasa bagi Zalen langsung berpindah tangan ke dekapan sang ketua Salvadore.

Dengan terisak Ia bergumam. Tubuhnya ikut bergetar. "Maaf, maafin Abang yang egois waktu itu. Abang nggak mikirin perasaan Kamu."

Dalam dekapan hangatnya, Zalen tersenyum kecil. Hatinya bergemuruh. Setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya. Senang? Tentu saja. Tapi, kejanggalan di hatinya lebih terasa dibandingkan perasaan-perasaan asing yang telah lama tak Ia rasakan selama ini. Dia melepaskan pelukan itu dan menatap sang kakak, "Bang, yang lain mana? Terus Ge-"

Perkataannya terpotong oleh sebuah suara. "Nggak usah pikirin tuh cewek iblis, Ce. Yang penting sekarang Lo baik-baik aja dan harus cari di mana bom itu disembunyikan." Ucap Angkara seraya mengelus kepala gadis itu lembut.

Adhka mengangguk, menyetujui ucapan sang ketua Pasific. Ia menata anak rambut Zalen yang tak beraturan, "Benar. Mending sekarang Kita ke rumah sakit, oke?"

Nando mengawasi beberapa mobil yang membawa Mereka ke rumah sakit sejenak. Pikirannya terus mengarah pada bom yang dibicarakan. "Di mana bom itu?" Gumamnya pelan seraya mengawasi pekerjaan bawahannya. Dia berjalan ke sana kemari tanpa peduli rasa lelahnya.

Bia yang baru datang bersama Sandra, Amira, dan Hanna pun disambut sapaan oleh beberapa bawahan sang ayah.

"Pa," Gadis itu menyalimi tangan sang Jendral diikuti yang lainnya. "Gimana? Udah tahu bomnya di mana? Terus semua pelaku yang ngelakuin itu semua sama korban?"

"Kalau masalah bom Papa belum tahu. Kita masih mencoba mencari tahu di mana keberadaannya. Untuk pelaku, alias Geani tentu saja, Papa nggak yakin Dia bakal hanya dijatuhi hukuman penjara aja. Kesalahannya terlalu berat. Dan untuk pengikutnya, itu sedang diproses. Saat sidang nanti korban bakal jadi saksi, dan Papa harap Kalian bakal datang sekalipun hanya untuk menjadi penonton di ruang sidang."

"Om, keadaan yang luka gimana? Nggak ada yang serius, kan?" Tanya Amira dengan tatapan penuh harap. Nando terdiam sejenak, "Om nggak tahu. Kalian mending ke RS Medika sekarang, biar Kalian sendiri tahu kondisi Mereka gimana."

The Transmigration of Souls : The Same World [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang