***
Pria itu telanjang dengan penuh percaya diri. Ia berbaring di atas lantai kayu berpenghangat, dalam ruang persegi panjang yang sempit. Di sebelahnya ada pakaian serba biru, dengan label nomor kuning di kemejanya. Pakaian birunya bergelung bersama celana dalam juga selimut biru lusuh yang tidak seberapa tebal. Sebuah bantal keras menahan kepalanya, di depan dinding kecil yang hanya sebatas lutut sebagai pembatas antara kamar tidur juga toilet. Ia ada di dalam sel tahanan, karena itu ruangannya sangat menyedihkan. Kwon Jiyong, akan di tahan dalam sel isolasi seumur hidupnya.
Suara slot dari pintu besi yang mengunci kamarnya terbuka, namun suara gaduh itu tidak menghentikan Kwon Jiyong dengan senandungnya. Sang tahanan sama sekali tidak terganggu meski sipir yang menjaga selnya mengumpat karena pemandangan tidak menyenangkan itu.
"Keluar, seseorang ingin menemuimu," singkat si sipir, yang terus menghindarkan mata sucinya dari pemandangan di hadapannya. Kalau tahu ia akan ada narapidana seperti Jiyong di penjaranya, ia pasti akan lebih senang kalau bekerja di lapas wanita.
"Hari ini terlalu panas untuk menerima kunjungan. Aku menolak semua kunjungan sampai musim panas berakhir," balas sang narapidana yang justru berbalik, memunggungi sang sipir seolah ingin memamerkan setiap inchi kulitnya.
"Kunjungannya di kantor Kepala Penjara."
"Ah? Orang penting yang datang? Kalau begitu aku harus menemuinya."
Kemudian pergi ke sel tahanan lainnya, yang tentu sama menyedihkannya– ruang persegi panjang kecil yang hanya bisa dibagi mejadi tempat tidur dan tempat buang air. Tanpa jendela dan sinar matahari, seorang tahanan wanita tengah membaca buku di dalam selnya. Entah kenapa akhir-akhir ini ia tertarik dengan seni bela diri, karenanya ia mulai membaca tentang Ju Jitsu dan tinju. Saat tertarik pada sesuatu, ia tertarik pada segala hal tentangnya, sampai ke sejarahnya.
Apalagi setelah ia terkurung dalam sel isolasi yang super sepi ini, membaca adalah satu-satunya hiburan yang bisa ia dapatkan. Meski harga buku jadi luar biasa mahal di dalam penjara, ia tidak keberatan membayar kebahagiaan kecil itu.
"Aku menolak kunjungan apapun, aku sedang membaca bagian paling menarik sekarang," ucap Lisa, di saat suara gaduh dari gembok dan pintu besinya beradu. "Suruh dia datang lagi besok, cantik," susulnya, sebab sipir wanita yang ia ajak bicara tetap membuka pintu selnya.
"Kunjungannya di kantor Kepala Penjara," ucap wanita itu, membuat Lisa langsung mengangkat kepalanya, tersenyum manis kemudian menutup bukunya.
"Siapa itu? Orang penting yang ingin menemuiku? Apa dia tampan?" tanya Lisa, yang kini bersemangat untuk bangkit juga melangkah menuju ruang kunjungannya.
Singkat cerita, malam ini Jiyong juga Lisa berada di dalam ruang perawat, di penjara masing-masing. Keduanya tidur di atas ranjang yang bukan ranjang operasi, menghadap ke lantai dengan tangan dan kaki yang terikat ke ranjang. Dua orang dokter yang bukan dokter jaga di penjara itu mulai menyayat bagian belakang leher mereka setelah menyuntikan anestesinya.
Dengan teknologi terbaru yang mereka miliki, mereka menanam sebuah alat seukuran kuku kelingking di belakang leher dua narapidana itu. Ada alat pelacak di dalamnya, juga sebuah peledak yang akan menghanguskan pembuluh darah mereka kalau sewaktu-waktu mereka kabur dan berulah. Tanaman di leher keduanya pun akan meledak, kalau alat itu di keluarkan secara paksa. Dengan tali tidak terlihat tadi, kini dua narapidana yang dihukum seumur hidup itu akan jadi anjing setia majikannya– dengan iming-iming hukuman mereka akan dikurangi kalau mereka berhasil dalam misinya. Ditambah beberapa janji lain yang di rahasiakan.
Dua minggu kemudian, dalam tengah malam yang gelap, dua narapidana itu diantar ke sebuah bangunan satu lantai, yang tidak jauh dari kantor polisi. Dengan mini bus dari penjara, keduanya di turunkan di depan bangunan mirip toko roti itu. Jiyong datang dengan celana jeans, kaos hitam dan jaket kulit cokelatnya– pakaian terakhir yang ia pakai sebelum tertangkap. Sementara Lisa dengan rok putih ketat sepanjang lutut, blouse kuning lembut dan selembar blazer putih tersampir di tangannya. Selain pakaian, peralatan elektronik mereka lainnya tetap ditahan di penjara.
"Wah... Ini sungguhan Suicide Squad?" komentar Lisa sembari menghampiri pria yang ada beberapa langkah di depannya. "Kalau begitu, aku Harley Quinn, kau?" sapa wanita itu sementara seorang sipir yang mengantar Jiyong menyuruh keduanya untuk segera masuk ke toko roti di depan mereka.
"Kalau kau Harley, aku bisa jadi Jokernya," balas Jiyong yang kemudian mempersilahkan Lisa untuk berjalan lebih dulu, masuk ke toko roti yang sudah tutup itu– ladies first.
"Joker? Kalau begitu ini hanya kunjungan singkat bagimu? Atau kau tidak menonton filmnya," komentar Lisa sembari melangkah.
"Kurasa aku hanya menonton trailernya," ucap Jiyong yang sekarang mengetuk pintu kaca dari toko roti itu, disusul suara klik dari kunci yang terbuka.
Jiyong yang mendorong pintu kaca itu, sedang Lisa melangkah lebih dulu melewati pintu yang sudah terbuka. Tepat begitu keduanya masuk, pintu kaca di belakang mereka terkunci. Suara berbisik dari listrik yang siap menyetrum pun terdengar dari dinding-dinding kaca di toko roti itu. Ini adalah penjara lainnya– pikir Lisa juga Jiyong di kepala masing-masing.
Jiyong terkekeh, menertawakan keseriusan orang-orang yang ingin bekerja dengannya. Lisa pun sama, gadis itu bahkan mengejek– kalau para penegak hukum di dalam markas itu terlalu penakut– terlalu berhati-hati.
"Apa kucing-kucing penakut itu akan membiarkanku pulang? Setidaknya aku ingin mengambil pakaianku, juga uang. Blouse dan rok ini sudah ketinggalan zaman," komentar Lisa sembari melihat-lihat toko yang redup itu.
"Aku juga ingin pulang... Mengambil uang dan kondom?" ledek Jiyong, disusul hinaan jari tengah dari Lisa.
Jiyong duduk di salah satu kursi yang ia turunkan dari mejanya. Hanya ada tiga set kursi dan meja di sana– dua kursi dengan satu meja di tiap setnya, dan saat toko di tutup, kursi-kursinya dinaikan ke atas meja. Sedang Lisa berjalan mendekati pintu besi yang kelihatannya mengarah ke dapur.
"Kurasa para kucing tidak akan menyambutmu di sana Tuan Tentara– ah atau harus ku panggil Tuan Gangster? Kemari lah, aku menemukan pintu masuknya," panggil Lisa sembari meninggalkan Jiyong masuk ke dalam dapur di toko roti itu. Dapurnya terlalu bersih untuk toko roti yang buka setiap hari.
"Bagaimana kau tahu siapa aku?" tanya Jiyong, yang kini mengembalikan kursinya kemudian melangkah mengikuti Lisa. "Kurasa wajahku tidak masuk daftar buronan," gumam Jiyong yang kini berada tepat di tengah dapur, bersebelahan dengan Lisa. Pria itu sedikit bersandar ke meja stainless steel, sengaja untuk memperhatikan bokong Lisa yang ada di dekatnya.
"Aku pernah mengunjungimu di penjara. Tujuh tahun lalu, kalau kau lupa. Bagaimana rasanya membakar orang hidup-hidup? Itu pertanyaanku waktu itu, bisa mengingatnya? Kalau belum, berhenti menatap bokongku," ucap Lisa, membuat Jiyong mengingat-ingat kunjungan yang di terimanya tujuh tahun lalu– satu tahun setelah ia di penjara.
"Ahh... Psikiater itu? Yang ingin menjadikanku penelitian? Lalu bagaimana penelitiannya? Apa hasilnya? Hm... Belum selesai karena kau justru di penjara? Akan ku anggap kau juniorku, junior sesama narapidana," balas Jiyong dengan sedikit kekehan disela-selanya.
"Tekan tombol itu," ucap Lisa, mengabaikan ucapan Jiyong sementara tangannya menunjuk sebuah tombol lampu di tengah-tengah dinding, di hadapannya.
"Kenapa? Kau ingin mematikan lampunya dan-"
"Itu bukan tombol lampu. Tombol lampunya di sebelah pintu masuk dapur. Tekan saja tombolnya, itu bisa jadi tombol pintu atau justru jebakan," potong Lisa membuat Jiyong yang sebelumnya tidak begitu perhatian kini menoleh memperhatikan setiap bagian di dinding dapur itu.
Jiyong jadi merasa mereka sedang berada dalam permainan No Escape sekarang. Pria itu jadi mulai perhatian setelah sebelumnya ia sama sekali tidak peduli dengan keadaan dalam toko roti itu. Dengan tenang, Jiyong menekan tombol lampunya dan dinding di sebelah tombol itu bergeser, terbuka seperti pintu lift. Matanya sudah menangkap garis lift itu di dinding, karenanya ia sama sekali tidak khawatir saat menekan tombol lampunya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
True Crime
FanfictionMature Content Selalu ada satu atau dua hal yang jauh lebih penting dari cinta... hidup.