21

661 133 1
                                    

***

"Kau sudah sembuh kan?" tanya Lisa, menghampiri Jiyong pada hari kelima belas setelah kejadian penculikan tempo hari. Hari ini Jiyong baru saja kembali dari rumah sakit dengan Jennie, pria itu pergi ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kakinya.

"Aku memang baru kembali dari rumah sakit tapi- ah! Sakit," rengek Jiyong, sengaja memeluk Lisa, menyandarkan tubuhnya pada tubuh kurus gadis di depannya. "Rawat aku lagi," pinta Jiyong, sebab selama lima belas hari terakhir hanya Lisa yang memperhatikan luka-lukanya. Sedang semua orang– Seunghyun dan timnya sibuk dengan pekerjaan mereka.

Karena penculikan itu, Seunghyun kehilangan rahasianya. Tidak ada lagi misi dalam misi, tidak ada lagi rahasia dalam tim, kini semua orang memburu Park Jinyoung. Mereka harus lebih cepat dari Lee Seungri, kalau tidak ingin gagal dalam misi kali ini. Park Jinyoung mungkin tidak akan bisa bekerja sama dengan Jiyong, namun memperalat Lee Seungri juga tidak ada salahnya. Lee Seungri pun bisa mencarikan mereka bahan utama senjata itu, meski tidak sebanyak yang Jiyong mungkin dapatkan– duga Seunghyun, juga timnya.

"Sebelum itu aku ingin balas dendam," balas Lisa, yang tanpa sadar mulai membalas pelukan Jiyong. Gadis itu melingkarkan tangan kirinya pada pinggang Jiyong sedang tangan kanannya mengusap helai rambut Jiyong di belakang tengkuknya.

"Apa?" tanya Jiyong, yang kini menjauhkan sedikit tubuhnya dari Lisa, hanya supaya ia bisa menatap gadis itu.

"Aku ingin balas dendam pada Lee Seungri. Ajari aku, ketua tim sibuk dan tidak bisa membantu," jelas Lisa. "Dia hanya mengizinkanku memakai ruangan itu untuk berlatih, tapi tidak ingin mengajariku," susulnya sembari menunjuk ruang kosong di markas mereka yang baru.

Markas lama harus dihancurkan karena penyerangan kemarin. Kini mereka bekerja di sebuah villa besar di atas gunung tempat mereka menemukan tiga mayat pertama. Kini mereka berenam tinggal di sana. Mereka punya kamar masing-masing, meski sesekali Lisa berpindah ke kamar Jiyong maupun Seunghyun– tergantung bagaimana suasana hatinya.

"Lisa," panggil Seunghyun, membuat Lisa menoleh ke belakang dan menaikan alisnya. Bertanya alasan pria itu memanggilnya. "Bantu aku dengan ini," susul pria itu, menunjukkan setumpuk berkas di tangannya.

"Sudah tiga jam- hampir empat jam aku membiarkan kalian berduaan di sini, tidak bisa kah kau bersabar? Sekarang giliranku," protes Jiyong sementara Lisa bereaksi terhadap permintaan Seunghyun itu. Seunghyun memang sibuk tadi, selama Jiyong pergi ke rumah sakit.

"Ini urusan pekerjaan," singkat Seunghyun. "Kau bisa ikut kami bekerja kalau-"

"Tinggalkan saja berkasnya di kamarku, ku kerjakan nanti. Aku punya sesuatu yang lebih penting sekarang," potong Lisa. "Aku harus bersiap untuk balas dendam," susulnya sementara Jiyong tersenyum seolah ia baru saja memenangkan persaingan yang dibuatnya sendiri. Seunghyun bahkan tidak peduli Jiyong akan meniduri Lisa atau mereka akan bermesraan di suatu tempat. Selama Lisa maupun Jiyong tidak meninggalkan villa itu dan mengacaukan pekerjaannya Seunghyun tidak peduli.

Seunghyun menghela nafasnya. Ia tidak menyetujui pembalasan dendam itu namun tidak bisa menahan Lisa. Seunghyun tidak ingin Lisa terluka, namun tidak bisa membuat gadis itu membatalkan niatnya. Akhirnya, Seunghyun mengangguk, ia melangkah ke kamar Lisa, meletakan berkas pentingnya di sana kemudian pergi ke ruangan lain– ruang meeting dimana Jennie sudah lebih dulu di sana bersama Ten.

Saat Seunghyun masuk, Ten dan Jennie menghentikan obrolan mereka. Ketiganya bertukar tatap kemudian Seunghyun mengambil duduk di salah satu kursinya. "Apa yang ingin kalian bicarakan?" tanya Seunghyun, sebab ia ke sana karena undangan yang Jennie kirim melalui pesan singkatnya.

"Langsung saja. Ketua tim, aku ingin Lisa berhenti dari misi ini. Selain membunuhnya, apa ada cara untuk mengeluarkannya?" ucap Ten membuat Seunghyun menganggukan kepalanya. Ia tidak menyetujui permintaan Ten, namun ia paham alasan Ten mengatakannya. "Dia hanya warga sipil. Maksudku, ya dia pintar, dia cerdas, dia berguna untuk kita, dia sangat membantu Jennie juga tim kita. Tapi ini terlalu berbahaya baginya. Sebelum berada di sini, kita sudah dilatih. Setidaknya kita bisa melindungi diri sendiri kalau sesuatu yang buruk terjadi. Tapi Lisa tidak, misi ini terlalu berbahaya untuknya dan Lee Seungri sudah melihatnya. Bagaimana kalau Lee Seungri memakai Lisa untuk melawan kita?" desak Ten, khawatir.

"Lisa juga tidak pernah belajar bela diri selama ini. Dia hampir tidak pernah berolah raga sepanjang hidupnya. Melatihnya sekarang juga tidak akan membantu," susul Jennie, mendukung Ten dan pendapatnya..

Sekarang Seunghyun merasa risih. Pasalnya, Ten dan Jennie selalu bertengkar setiap kali Lisa ada di antara mereka. Mereka bertiga tidak pernah benar-benar bisa bekerja sama. Lisa meremehkan Jennie, Jennie membenci Lisa, selama ini begitu kebiasaan mereka. Namun setiap kali Lisa tidak di sana, dua agen di depannya itu selalu berusaha melindungi Lisa. Seolah gadis yang menyebalkan itu benar-benar sangat penting bagi mereka. Love and hate situation yang sangat rumit– nilai Seunghyun.

"Aku tidak bisa mengirimnya kembali ke penjara," jawab Seunghyun, tegas dan tenang. "Lisa bilang kami berkencan. Meski itu hanya untuk menipumu, seperti yang Jennie katakan waktu itu. Aku tidak peduli. Sebelum kami bisa menipumu, kami harus menipu diri sendiri. Aku tidak bisa mengirimnya ke penjara lagi. Aku tidak bisa membiarkannya berada di tempat yang tidak bisa ku lihat. Aku butuh dia untuk tetap hidup, apapun yang ia lakukan, jadi dia akan tetap berada di dekatku. Kalian mengerti kan? Kita akhiri pembicaraan ini sekarang," tegas Seunghyun yang kemudian bangkit dari duduknya.

"Ah! Dan Lisa, dia tidak selemah yang kalian kira. Enam tahun berada di penjara, itu sama seperti enam tahun belajar bela diri. Kejadian kemarin, mungkin memang mengejutkannya, tapi dia bisa mengatasinya. Kejadian kemarin, tidak akan terulang lagi," susul Seunghyun sebelum ia benar-benar keluar dari ruang meeting itu. Menutup pintunya kemudian kembali ke ruang tengah.

Rencananya Seunghyun ingin menemui Lisa di ruang tengah, namun ternyata gadis itu sudah tidak ada di sana. Dengan tenang Seunghyun melangkah masuk ke kamar Lisa dan menikam gadis itu tengah mengganti pakaiannya di sana. Jiyong tidak ada di sana, namun Seunghyun tidak penasaran kemana pria itu pergi. Sembari berdiri di depan pintu, melihat Lisa yang dengan tenang memakai celana olahraganya, Seunghyun berucap– "aku lupa memberitahumu, Ten dan Jennie tahu kalau kita hanya berpura-pura berkencan untuk menipunya. Mereka juga tahu kalau hubunganmu dengan Jiyong pun sama begitu," kata Seunghyun.

"Hm... Aku yang memberitahu mereka. Hanya memberitahu Ten sebenarnya, tapi ternyata Jennie mendengarkannya," balas Lisa. "Tapi aku tidak bisa berhenti, bahkan jika mereka menyebutku pelacur yang menggoda kalian. Sedari awal, aku ingin membuat Ten merasa bersalah, bukan sekedar cemburu. Aku bahkan bisa jadi pelacur sungguhan kalau itu membuat Ten sedih dan merasa bersalah. Hidupku hancur karenamu, aku depresi karenamu, aku jadi gila karenamu, bisakah kau tetap bahagia? Tidak 'kan? Rasakan saja rasa bersalahnya."

Sementara itu, kembali ke ruang meeting Jennie menatap Ten yang tengah tersenyum kecut di depannya. Gadis itu perlahan naik ke atas meja, sedikit menyandarkan bokongnya di meja, memperhatikan Ten yang tengah duduk di kursinya.

"Kau bukan warga sipil, kau juga bukan orang biasa, harus kah aku khawatir melihat tanganmu itu?" tanya Jennie, melihat beberapa luka gores– luka sayatan– yang memenuhi lengan kiri Ten.

"Lisa senang melihatnya," jawab Ten. "Kenapa kau khawatir? Ini tidak akan membunuhku. Hanya... Sedikit berusaha? Agar teman lamamu sedikit merasa senang?" balas Ten yang kemudian menarik turun lengan bajunya. "Kalau aku benar-benar depresi dan begitu ingin mati, aku tidak akan melakukan ini. Aku selalu membawanya, untuk apa repot-repot memotong nadiku? Kalau aku memang ingin semuanya berakhir begitu saja," susul Ten yang kemudian bangkit, meraih ikat pinggang dengan sebuah pistol yang terkunci di atasnya lantas melangkah meninggalkan Jennie sendirian di ruang meeting itu.

"Karena itu, karena kau selalu membawanya, aku jadi khawatir. Bagaimana kalau kau tiba-tiba hilang kendali dan menembak kepalamu sendiri? Lalu kau menyesal karena melakukan hal bodoh itu tapi semuanya sudah terlambat," cibir Jennie yang sialnya Ten abaikan begitu saja.

***

True CrimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang