***
Setelah semua orang pergi, meninggalkan Jiyong dan Lisa berdua di markas, Jiyong merasakan sesuatu yang janggal. Rasanya aneh, mereka ditinggalkan berdua, hanya dengan tiga agen baru yang bahkan belum jelas kemampuannya. Jiyong berusaha mengabaikan rasa janggal itu, sementara ia melihat Lisa tengah memasak dengan senyum lebar di wajahnya.
"Kau sangat senang? Karena membuat Ten tersiksa?" tanya Jiyong, yang kini duduk di atas sebuah meja besi, memperhatikan Lisa dengan permainan pisaunya.
"Hm... Sangat senang," jawab Lisa. "Kau tahu? Mereka bilang aku psikopat yang suka membunuh, tapi aku tidak pernah jadi senang setelah melihat satu persatu pasienku mati. Aku bahkan menangisi kematian mereka... Aku jadi sedih, saat sadar kalau aku tidak bisa melihat mereka lagi. Tapi, saat melihat seorang yang ku benci tersiksa, aku jadi bersemangat," cerita Lisa.
"Kenapa kau membunuh pasienmu?" tanya penasaran pria itu. Tenang dan penuh perhatian.
Lisa menghentikan gerakan tangannya kemudian menoleh pada Jiyong dengan senyum yang perlahan-lahan melunak, senyuman tenang seorang yang begitu tulus. Seolah Jiyong baru saja mengatakan 'aku mencintaimu' dengan begitu jujur. Bahkan Ten tidak pernah bertanya begitu padanya.
Tentu banyak yang mempertanyakan alasan Lisa membunuh pasien-pasiennya, meski tidak dengan tangannya sendiri. Namun selain nada bicara Jiyong kali ini, semua pertanyaan serupa ditanyakan dengan nada yang sangat tidak menyenangkan. Mereka menghakimi Lisa, mereka mengalahkan Lisa, mereka membenci Lisa, sebab wanita itu membunuh banyak pasiennya bahkan membuat beberapa pasiennya jadi seorang pembunuh. Mereka menganggap Lisa gila, sakit jiwa, monster mengerikan yang bisa menghipnotis orang-orang di sekitarnya. Padahal Lisa tidak pernah jadi sehebat itu.
"Aku tidak membunuh siapapun," jawab Lisa sembari tersenyum. "Kau yang membunuh banyak orang, dengan satu kebakaran, iya kan?" balas Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya.
Ya, Lisa benar. Hanya untuk menghancurkan lawan bisnisnya, Jiyong membakar sebuah ladang ganja di atas gunung. Ia pun membunuh banyak orang dalam kebakaran itu. Belum lagi mereka-mereka yang nyawanya telah Jiyong renggut karena beberapa urusan lainnya kemudian ia buang tubuhnya di laut.
"Aku tidak membanggakannya, aku tidak membenarkan perbuatanku, sesekali aku juga menyesalinya tapi aku tidak bisa menghindarinya. Itu resiko dari pekerjaan yang aku pilih. Tapi kau... Ceritanya berbeda, karena kau seorang dokter. Dokter yang seharusnya menyelamatkan orang lain. Jadi aku ingin tahu alasanmu melakukannya," jawab Jiyong dibarengi dengan gerak Lisa yang mulai memotong kembali bahan masakannya.
"Ya, tugas dokter adalah menyembuhkan pasiennya, menghilangkan penyakit pasiennya, menyelamatkan seseorang. Tapi... Bagaimana kalau penyakit itu tidak bisa disembuhkan? Seorang dokter hanya bisa memperlambat gejalanya atau mengurangi rasa sakitnya, sembari bersabar semoga suatu saat ada obat untuk penyakit itu. Tapi saat seorang dokter bersabar, pasiennya tetap kesakitan."
"Itu masih lebih baik daripada mati."
"Siapa yang memutuskannya?" tanya Lisa membuat Jiyong mempertanyakan kembali pertanyaan itu.
"Ya? Apa maksudmu?"
"Siapa yang berhak memutuskan hidup dalam kesakitan masih lebih baik daripada mati?" ulang Lisa membuat Jiyong sedikit perlu memutar otaknya. Entah kenapa, makna dari ucapan Lisa tadi terasa benar baginya. "Seorang dokter yang bertanggung jawab? Keluarga pasien? Polisi? Reporter? Pelanggan setia stasiun berita? Siapa yang berhak memutuskannya? Tidak satu pun dari mereka. Hanya pasiennya yang berhak memutuskan mana yang lebih baik baginya, hidup dalam kesakitan atau mati. Aku tidak pernah merasa membunuh seseorang, tapi aku juga tidak bisa mengatakan kalau aku sudah membantu mereka. Sebagian dari mereka sakit keras, sebagian lainnya korban kejahatan. Mereka sakit, terluka, cacat kemudian putus asa, baik secara fisik maupun mental. Mereka telah berubah, jadi berbeda di antara masyarakat yang meremehkan keadaan mereka. Mereka telah berubah, merasa menjadi beban bagi orang-orang tercintanya. Bagi mereka, hidup adalah penyiksaan, jadi mereka memutuskan untuk mati. Kalau sudah begitu, apa hakku memaksa mereka tetap hidup? Sementara aku tidak bisa menjamin penyakit mereka dapat disembuhkan, sementara aku tidak bisa menjamin luka mereka bisa sembuh dan hidup mereka kembali normal."
"Tapi itu melanggar etika dokter," komentar Jiyong. "Dan kau mengkhianati keluarga pasien. Mereka membawa pasien itu padamu dengan banyak harapan."
"Ya," angguk Lisa. "Karena itu sekarang izin praktikku dicabut, karena itu juga aku masuk penjara. Seumur hidup. Kalau mereka membiarkanku begitu saja, para psikopat akan berlomba-lomba untuk jadi dokter, agar mereka bisa bebas membunuh orang dengan dalih keinginan pasien. Kita tidak bisa bertanya pada korbannya– apakah ia di bunuh atau memang ingin mati. Kalau hantu bisa dijadikan saksi, kurasa aku tidak perlu dipenjara," cerita Lisa.
Korban pertama Lisa adalah ibunya sendiri. Cerita yang gadis itu bagi kepada Vinii beberapa waktu lalu. Sejak saat itu, ia tahu resiko dari perbuatannya. Ia tahu kalau tidak ada alasan yang bisa membenarkan alasannya membunuh– dengan kata-katanya.
Ia tahu kalau tidak akan ada yang memuji perbuatannya. Ia tahu kalau orang-orang justru akan menyalahkannya– kenapa kau membunuh putraku? Kenapa kau membunuh putriku? Kenapa kau membunuh ibuku? Kenapa kau membunuh ayahku? Kenapa kau membunuh istriku? Kenapa kau membunuh suamiku? Kenapa kau menghasut mereka untuk mati? Lisa tahu kalau ia akan di serang dengan semua pertanyaan itu. Ia bahkan tahu, kalau ia bisa saja di penjara atas tindakannya. Ia pun tahu, hidupnya akan hancur kalau ia sampai ketahuan.
"Kalau kau tahu semua itu, kenapa kau tetap melakukannya?"
"Kasihan," jawab Lisa. "Aku kasihan melihat mereka terus tersiksa karena ketakutan. Aku tidak tahan berada di sini, tapi aku takut untuk mati. Karena itu aku membantu mereka mengatasi rasa takutnya," jelasnya, masih belum terdengar masuk akal di kepala Jiyong.
Pria itu masih tidak bisa memahami Lisa dan nilai-nilai yang dipercayainya. Namun ia bisa memahami satu hal– ada hukuman yang lebih menyakitkan dibanding kematian, yaitu hidup dalam kesakitan, kesedihan, luka.
"Aku sudah mengetahui semua resikonya, melanggar etika dokter, melanggar hak asasi manusia, aku tahu semuanya, tapi aku tidak tahu kalau justru calon suamiku lah yang melaporkanku. Selama persidangan aku membencinya. Aku membenci Ten, bagaimana dia bisa melaporkanku tanpa mengatakan apapun padaku lebih dulu? Kau melakukan kesalahan, kau melakukan sebuah dosa besar, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak berharap ia bertanya seperti itu padaku. Tapi di hari aku harusnya mendaftarkan pernikahan kami, sekitar dua hari sebelum resepsi, dia justru membawaku ke kantor polisi, dia menangkapku, dia sendiri yang mengantarku ke penjara, tanpa mengatakan apapun. Bagaimana bisa seseorang jadi sangat dingin hanya dalam satu malam? Aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak menyewa seorang pun pengacara, sebab ku pikir ia akan mencarikan satu untukku. Aku juga tidak membantah satupun tuduhan yang mereka berikan padaku. Aku menerima segalanya, aku menerima semua tuduhan itu dan bersedia dihukum karenanya. Tapi hampir dua bulan persidanganku, dia sama sekali tidak datang. Dia sama sekali tidak menghubungiku meski aku menelepon dan bilang merindukannya. Dia meninggalkanku. Sekitar dua bulan kemudian, dia baru datang, mengunjungiku di penjara dan kau tahu apa yang ia katakan? Ia sudah mengurus segalanya, ia sudah membatalkan semua urusan pernikahan kami, ia bahkan sudah menjual rumah pernikahan kami dan mengirim uang hasil penjualannya ke rekeningku. Dia benar-benar mencampakkanku. Dia benar-benar meninggalkanku."
Jiyong terdiam mendengarkan kisah itu. Sama seperti ia bisa menilai perasaan Lisa, ia pun bisa menilai milik Ten. Wajar saja– nilai Jiyong akan sikap Ten saat itu. Wajar saja pria itu mencampakkan Lisa, wajar saja pria itu meninggalkan Lisa, wajar saja pernikahan mereka dibatalkan, wajar saja kalau Ten merasa ngeri melihat calon istrinya ketahuan menghasut pasien-pasiennya untuk bunuh diri.
"Tapi yang tidak wajar, kenapa dia masih cemburu? Kenapa dia masih memiliki perasaan untukmu?" komentar Jiyong membuat Lisa berdecak, sedikit kesal. "Kalau aku, aku tidak akan cemburu apalagi masih menaruh perasaan untukmu. Wanita baik yang ingin dia nikahi, ternyata seorang pembunuh yang dengan tenang mengakui semua kejahatannya– wajar saja kalau dia marah dan merasa tertipu karenanya. Belum lagi penilaian keluarganya-"
"Kenapa kau mengatakan itu seolah itu adalah masalah orang lain? Kau tidak bisa berempati padaku?"
"Ceritamu dengan mantan kekasihmu memang masalah orang lain bagiku... Apa aku terlibat dalam penangkapanmu? Atau alasan kalian putus? Aku memang orang lain," balas Jiyong membuat Lisa kembali mengangguk kesal pada Jiyong, dengan ekspresi yang sama seperti di padang ilalang tempo hari.
"Ya, ya, ya, kau menang lagi tuan Kwon," cibir gadis itu, sebelum keresahan Jiyong di awal tadi menjadi kenyataan. Suara decitan yang sangat keras terdengar, bersamaan dengan kaca-kaca yang pecah, teriakan orang-orang diakhiri dengan sebuah ledakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
True Crime
FanfictionMature Content Selalu ada satu atau dua hal yang jauh lebih penting dari cinta... hidup.