***
Di mobil lain, dalam perjalanan ke penjara tempat Lisa harus kembali tinggal, Lisa membuka jendela mobilnya kemudian menatap keluar, membiarkan wajahnya diterpa angin malam yang kasar. Mobil mereka melaju lebih cepat dari biasanya, seolah Seunghyun punya hal lain yang harus ia selesaikan, selain mengantar Lisa kembali ke penjara. Padahal pria itu bisa saja meminta polisi yang melakukannya, tapi ia memilih untuk mengantar Lisa dengan mobilnya sendiri sebab mereka harus mampir ke suatu tempat– rumah abu.
"Bagaimana kau bisa menyembunyikan semua USB itu di guci abu ibumu sendiri?" komentar Seunghyun, lebih seperti tengah menghakimi Lisa dibanding sekedar bertanya. "Apa kau tidak malu? Pada ibumu sendiri?"
"Orang pertama yang aku suruh mati... Ibuku," balas Lisa. "Menyimpan USB-USB itu di sana bukan apa-apa," susulnya, dengan mata terpejam, masih menikmati terpaan angin di wajahnya.
"Lalu dimana abu ibumu?"
"Laut, tempat yang sangat ingin ia kunjungi," santai Lisa sementara Seunghyun menghela nafasnya, terlalu terkejut dengan semua hal yang terjadi hari ini. "Tapi... Kematian bukan apa-apa. Aku sering bertemu pasien yang bilang– aku ingin mati, aku ingin segera mati kemudian melihat orang-orang yang telah melukaiku menderita. Atau, yang lebih lembut, aku ingin mati untuk tahu apakah ada seseorang yang akan menangisiku, seseorang yang akan sedih atas kepergianku. Tapi apa kau tahu? Dunia tetap berputar bahkan saat seseorang meninggal dunia."
"Kau terlalu dingin-"
"Begitu menurutmu? Lihat dirimu sendiri. Hari ini seorang anggota timmu di temukan tewas, bunuh diri di kamarnya sendiri. Tapi apa yang kau lakukan? Kau tetap mencari USB yang ku sembunyikan. Kau kembali dari makam ayahku, tapi apa yang kau katakan begitu tiba? USB itu tidak ada di makam ayahmu, dimana kau menyembunyikannya? Kau bahkan tidak bertanya apa yang terjadi pada Ten. Lalu Jennie, dia memang banyak menangis. Tapi apa kau tahu apa yang dia tangisi? Bukan Ten... Wanita itu menangisi dirinya sendiri, kenapa aku tidak melihat Ten lebih awal? Kenapa aku tidak menyadarinya lebih awal? Kenapa aku terlambat? Kenapa aku melakukan kesalahan yang sama sekali lagi? Dia menangisi penyesalannya sendiri, bukan Ten. Lalu Jisoo, dia tetap bekerja, mengetik di komputernya, menatap layarnya, tanggung jawabnya tetap berputar. Tim forensik, rekan-rekan kerjamu yang menyelidikiku, semuanya tetap bekerja sementara Ten kedinginan, sendirian di lemari penyimpanan. Dunia tetap berputar, meski seseorang mati."
"Kau sedih?" tanya Seunghyun kemudian, sedikit mengenyampingkan rasa marahnya sebab merasa bersalah karena ucapan gadis di sampingnya itu.
"Aku juga sama. Aku juga tidak punya waktu untuk merasa sedih karena ada hal lain yan ku pikirkan," jawab Lisa. "Aku bahkan tidak bisa merasa senang. Sama sekali tidak senang," susulnya.
Lagi, Lisa menghela nafasnya. Ini bukan hari yang ia harapkan. Awalnya memang ada sedikit kesenangan– saat ia melihat Ten juga melihat Jennie. Namun rasa senang itu langsung hilang begitu Jiyong menyuruhnya mengaborsi anak dalam kandungannya. Bahkan seorang psikopat di drama senang saat tahu ia punya seorang anak, tapi kenapa Jiyong justru tidak begitu? Lisa ingin mengancam Jiyong, ia telah berjanji pada dirinya sendiri akan memilih keputusan yang tidak Jiyong pilih.
"Apa yang kau pikirkan, Lisa?" tanya Seunghyun sekali lagi.
"Bukan urusanmu," balas Lisa. "Kau memang sudah mendapat rekam medis pertama Rose, tapi kau tahu kan kalau kau masih membutuhkanku? Tidak ada yang bisa membuat Rose-"
"Aku membutuhkanmu. Masih sangat membutuhkanmu. Bukan hanya untuk Rose, tapi untuk memastikan aku tetap waras sekarang. Aku harus tetap waras," potong Seunghyun.
Mereka akhirnya tiba. Namun kata-kata terakhir yang Lisa ucapkan pada Seunghyun bukanlah sapaan perpisahan yang ramah. Gadis itu justru memperingatkan Seunghyun, kalau ia mungkin akan berkhianat. Seunghyun bertanya alasan Lisa mengatakan itu, namun yang ditanya justru memberinya sebuah jawaban samar.
"Aku tidak tahu, aku hanya tidak bersemangat lagi menemukan laboratorium itu. Sedari awal aku memang tidak peduli obat itu di produksi atau tidak. Aku tidak peduli mereka menjual narkoba atau permen-"
"Kau kecewa karena kita tidak menemukan Lee Seungri? Maaf... Aku janji, aku akan menemukan Lee Seungri untukmu, hm? Jangan seperti ini... Ya?"
"Hm... Kita lihat saja nanti, aku sudah memperingatkanmu, oke?" ucap Lisa yang setelahnya berbalik, melangkah meninggalkan Seunghyun yang kini menghela nafasnya. Pria itu merasa berada di situasi yang sulit sekarang.
Sepanjang malam, Lisa memikirkan rencananya. Jiyong memilih sesuatu yang tidak Lisa inginkan. Gadis itu kesal, sebab ia tidak mendapatkan apa yang di harapkannya. "Kenapa dia menyuruhku mengaborsi anak ini? Aku tidak ingin melahirkan," gerutu Lisa, dengan pakaian tahanannya yang cukup tebal. Gadis itu berbaring di lantai, ia terlalu malas menata selimutnya, meski tahu ia akan kedinginan. "Ku pikir dia akan menyuruhku melahirkan anak ini! Menjengkelkan!" kesal gadis itu, sebab rencananya memprovokasi Jiyong ternyata gagal. Lisa sengaja menyinggung Ten dan pendapatnya kemarin, berfikir kalau Jiyong akan merasa buruk kemudian ingin terlihat lebih baik dari Ten. Tapi ternyata pria itu benar-benar berengsek.
"Ah! Mungkin saja dia sengaja? Dia tahu kalau aku akan melakukan yang sebaliknya, dia tahu rencanaku, jadi dia menyuruhku mengaborsi anak ini. Kalau aku benar-benar mengaborsinya, dia pasti terkejut! Rencananya baru saja gagal!" seru Lisa, setelah tiga jam ia berbaring di lantai. "Tidak. Jiyong tidak akan berfikir sampai ke sana. Jiyong tidak akan mengambil jalan rumit seperti itu. Kalau dia bilang aborsi, berati itu yang benar-benar dia inginkan. Dia bukan tipe yang akan berbasa-basi apalagi bermain tebak-tebakan seperti ini. Lagi pula apa untungnya punya anak dariku? Dia bahkan tidak bisa hidup dengan anaknya di penjara," susul Lisa kemudian, menyanggah sendiri pikiran-pikiran yang muncul dalam kepalanya.
Siang kemudian datang dan Lisa pergi ke pabrik untuk menemui Kim Dami di sana. Tempat itu berdebu saat Lisa datang dan ia tidak menyukainya. Sedikit berbasa-basi, sampai kemudian Lisa mengatakan alasannya datang ke sana– menanyakan hubungan si kepala pabrik dengan Jiyong.
"Kwon Jiyong?" tanya Dami. "Hm... Kau tidak akan mendapatkan apapun kalau bertanya tentangnya padaku. Tapi, karena kau sudah membuatnya datang ke sini, akan aku beritahu satu hal... Kau tahu tahanan 1802?"
"Nana label merah?"
"Ya, dia," angguk Dami. "Dia wanita Jepang, yang dulu Kwon Jiyong bawa kesini dan sekarang di buang. Wajahnya yang rusak itu, katanya disiram Jiyong dengan minyak panas. Rumornya, dia pernah buta, tapi Jiyong memberinya mata baru agar tahanan 1802 bisa melihat wajahnya yang rusak. Dia juga pernah mencoba bunuh diri, tapi Jiyong menyelamatkannya, lagi dan lagi, siksaan tanpa akhir," cerita wanita itu membuat Lisa menelan ludahnya sendiri. Jiyong bukan hanya seorang penjahat, ia jauh lebih mengerikan daripada itu. Keangkuhan rasanya telah membawa Lisa pada pria yang salah.
"Tapi apa yang tahanan 1802 lakukan sampai Jiyong memperlakukannya seperti itu?"
"Tidak tahu. Katanya dia berselingkuh, katanya dia mengkhianati Jiyong, katanya dia pernah mencoba untuk membunuh Jiyong, bahkan ada yang bilang kalau tahanan 1802 menganiaya anak Jiyong sampai mati, banyak sekali rumornya, tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku lebih memilih untuk tidak menanyakannya... Mengerikan kalau sampai Jiyong menyiram wajahku dengan minyak."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
True Crime
FanfictionMature Content Selalu ada satu atau dua hal yang jauh lebih penting dari cinta... hidup.