***
Seorang pelayan– tanpa pakaian pelayan tentunya– tengah menyajikan sarapan di depan Lisa seperti biasanya. Gadis itu mengenakan celana jeansnya, dengan sebuah kaus lengan panjang dan rambut panjang yang diikat ekor kuda. Lisa membenci gadis itu, sebab ia selalu malaporkan kebiasaannya pada Jiyong. Nama gadis itu Somi, dan ia selalu menelepon Jiyong setiap kali Lisa meninggalkan anaknya menangis sendirian di dalam kamar, ia juga menelepon Jiyong di saat Lisa hampir menenggelamkan bayi kecilnya di bak air.
Lantas, setiap kali Somi meneleponnya, seperti semalam, Jiyong akan datang, memarahinya dengan tingkat kemarahan yang selalu berbeda setiap kali datang. Bulan lalu Jiyong memukuli Lisa, sebab gadis itu ingin menenggelamkan bayinya. Tubuh gadis itu penuh memar dan jari telunjuknya patah karena menghindari pukulan Jiyong.
Jiyong bangun, sebelum Lisa selesai sarapan. Pria itu bergabung di meja makan kemudian menyuruh Somi keluar dengan gerakan tangannya. Jiyong tidak suka ada Somi di rumah itu, meski Somi harus berada di sana untuk melayani majikannya juga tahanan yang Jiyong sekap di sana– Lisa.
"Kemana kau membuang bayi itu?" tanya Lisa, tanpa menatap Jiyong.
"Panti asuhan," singkat Jiyong. "Ku kirim alamatnya nanti."
"Tidak perlu, aku tidak ingin pergi ke sana."
"Kalau begitu, kau mau bekerja?" tanya Jiyong, membuat Lisa langsung menaikan alisnya. Salah satu alasan seorang ibu begitu tersiksa dengan keberadaan anaknya adalah karena ia harus melepaskan banyak hal untuk anak itu– pekerjaannya, mimpinya, waktunya, juga tenaganya– dan Lisa mengalaminya. "Aku tidak sepertimu, aku tidak suka melihat orang lain depresi sampai mati. Aku lebih suka membunuh mereka, cepat tidak bertele-tele. Jadi, kau mau kembali bekerja?"
"Kau menyiksa Nana, juga aku," cibir Lisa, namun Jiyong berdalih kalau ia melakukan itu karena ia masih membutuhkan mereka. Jiyong masih butuh Nana untuk menakut-nakuti Lisa sebelum membunuhnya, meski awalnya pria itu lupa kalau ia memenjarakan Nana di sana. Jiyong juga masih membutuhkan Lisa, sebagai satu trofi kebanggaannya, obsesi dan candunya.
"Mushroom killer-" kali ini Jiyong menghentikan ucapannya, sebab Lisa tiba-tiba meletakan sendoknya di atas meja kemudian mengangkat kepalanya, menatap Jiyong dengan wajah penuh harap. "Choi Seunghyun, Kim Jisoo dan Kim Jennie sudah menyelesaikan kasusnya. Park Jinyoung sudah di penjara milik badan intelejen bersama para penelitinya. Sekarang Seunghyun ada di Australia. Jisoo kembali bekerja di kantor utama dan Jennie, dia mengundurkan diri, bersembunyi entah di mana," susul Jiyong, menjelaskan apa yang terjadi selama Lisa sibuk dengan kehamilan dan lukanya sendiri.
"Lalu narkobanya? Kau mendapatkannya?" tanya Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya. Pria itu lantas mengeluarkan handphonenya kemudian menunjukan sebuah berita di sana.
Lee Taesoo, seorang CEO perusahaan otomotif ditemukan tewas setelah melompat dari atap perusahaannya
Dosen Choi Yongsuk, meninggal tertabrak kereta ketika berusaha melarikan diri dari kejaran polisi setelah mencoba melecehkan seorang mahasiswinya
Pesta narkoba, Baek Seungjae tenggelam karena mengalami overdosis di kolam renang
"Kau menjual obatnya tanpa melakukan uji klinis lebih dulu?" tanya Lisa, menebak alasan Jiyong memberitahunya mengenai berita-berita itu. "Kau gila? Kau akan membunuh banyak orang!" seru Lisa, seolah ia tidak pernah melakukannya sebelumnya.
"Melakukan uji klinis juga akan membunuh banyak orang. Mushroom killer, dia melakukan uji klinis pada manusia dan jadi seorang pembunuh karenanya. Karena orang-orang yang dijadikannya kelinci percobaan ternyata mati. Bukankah yang aku lakukan sedikit lebih baik? Aku hanya membunuh mereka yang ingin di bunuh. Kalau ingin hidup lama, mereka harusnya menghindari narkoba."
"Menjijikan. Rasanya menjijikan mendengarmu mengatakan hal seperti itu. Kau bisa jadi seperti sekarang karena konsumen-konsumenmu itu! Apa yang akan kau lakukan kalau semua konsumenmu mati?!" sebal Lisa, yang kemudian bangkit dari duduknya, hendak meninggalkan Jiyong namun pria itu menahan gerakannya dengan satu kata dingin.
"Duduk," dingin Jiyong, membuat Lisa kembali mendudukan bokongnya di atas kursi itu. "Aku akan membuatmu bekerja di pabrik obat itu. Bagaimana? Tidak sulit. Kau hanya perlu melakukan apa yang ku suruh dan berjanji satu hal."
"Apa? Tidak membakar pabrik?"
"Aku tidak mengkhawatirkan itu," balas Jiyong, yang kini menumpu dagunya dengan kedua tangannya di atas meja makan. "Jangan mencicipi barang yang kau jual. Kau sudah lama gagal menjadi wanita baik nomor satu. Bagaimana kalau jadi wanita jahat nomor satu? Menggiurkan 'kan? Kau bisa jadi yang nomor satu di industri ini, hanya kalau kau bersumpah tidak akan mencicipi barang daganganmu sendiri. Hanya itu syaratnya. Kau akan langsung mati kalau melanggar syarat itu."
"Lalu kalau aku menolak?"
"Tetaplah hidup seperti ini, dan jadi menyedihkan seperti Ten atau Jennie yang sedang bersembunyi. Apa yang akan kau pilih?" ucap Jiyong, menutup sarapan mereka dengan penawaran yang sulit, bahkan hampir tidak bisa Lisa tolak. Ia akan mati kalau terus berada dalam tekanan bayi yang dilahirkannya itu, dan Lisa tidak ingin mati.
***
Sepuluh tahun kemudian, angin berhembus lembut. Sepoi-sepoinya menerbangkan rambut Jennie di udara. Dengan gaun panjang yang ia padukan bersama cardigan rajut berwarna cokelat lembut, gadis itu melangkah menuju sebuah bangunan di atas bukit. Sepatu ketsnya yang nyaman, membuat gadis itu bisa berjalan dengan senyum cantiknya yang mengembang.
"Bunda!" teriak seorang gadis, dari kejauhan ia berlari, menghampiri Jennie dan memeluk kakinya. Ia buat Jennie hampir menjatuhkan beberapa barang dari tas belanjanya.
"Oh! Kwon Lisa, ada apa? Kenapa kau berlari?" tanya wanita itu, sedikit mengusap rambut gadis kecil yang memeluk kakinya.
"Sepertinya aku sudah tahu hari ulangtahunku. Bukan delapan belas Maret seperti yang bunda bilang, tapi hari ini, dua Agustus. Hari ini ayahku mengirim banyak hadiah," cerita gadis kecil itu membuat Jennie langsung menelan ludahnya sendiri.
Kwon Jiyong datang? Setelah hampir sepuluh tahun ia meninggalkan bayinya di panti asuhan? Jennie tidak bisa mempercayainya.
"Ayahmu datang? Kau tahu siapa ayahmu? Bagaimana kau tahu?"
"Tidak," geleng anak kecil itu sembari mengeluarkan sebuah kotak beludru dari sakunya. Ia buka kotak itu kemudian menunjukan satu kalung dengan liontin bulat sederhana yang berukir sebuah kalimat– Kwon Lisa, 02.08.20. "Ini pasti untukku, 'kan? Dari ayah dan ibuku?"
"Hm... Mungkin saja. Tapi Lisa, kalau ayah dan ibumu datang ke sini, apa kau ingin pergi dengan mereka?" tanya Jennie, setelah ia menawarkan diri untuk memakaikan Lisa kalung kecilnya.
"Tidak bisa kah aku pergi dengan mereka selama beberapa hari kemudian kembali pulang ke sini?"
"Kenapa? Kau tidak ingin tinggal bersama mereka?"
"Bunda ada di sini."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
True Crime
FanfictionMature Content Selalu ada satu atau dua hal yang jauh lebih penting dari cinta... hidup.