17. Save Me

160 13 2
                                    

"Pain, pain go away"

"Pain, pain go away"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jimin

"Ibumu adalah wanita paling jujur yang pernah kutemui. Dan aku menjadi orang paling jujur saat aku bersamanya."

Langkah kakiku terhenti seketika. Ia dan gadis Ara itu begitu fokus hingga mereka tak menyadari kedatanganku. Lama aku mematung, cukup untuk mendengar ayah begitu lembutnya bercerita tentang kekasihnya dulu.

Dan gadis ini anaknya?

Astaga

"Jimin-ah." Suara ayah menyadarkanku. Ternyata aku menyuarakan pertanyaan itu cukup keras−ayah dan gadis itu kini telah menyadari kedatanganku. Aku melihat wajah keduanya cukup terkejut. Terlebih gadis itu. Bahunya tampak menegang dan punggungnya begitu tegap. Berusaha mengalihkan pandangan kearah selain mataku. Tidak tahu harus berbuat apa sedangkan ayahku kembali pada raut wajah biasanya. Dingin dan tidak terbaca.

Raut wajah yang selalu ia tampakkan padaku.

"Apa aku ketinggalan cerita seru?" Tanyaku sarkas. Tidak ingin mereka mengetahui betapa hancur hatiku mendengar cerita kasmaran ayah.

Aku tidak pernah mendengar cerita semanis itu tentang ibu dan ayahku. Apa ayah bersikap seperti itu juga saat ayah bersama ibu? Seperti ia bersikap manis dengan ibunya?

"Duduklah. Pesan makanan yang kau mau." Ucap ayah sambil berusaha melanjutkan makannya.

"Dan kau pikir aku mau duduk semeja dengan gadis ini? "

"Jaga bicaramu. Duduklah dan bersikap baiklah pada adikmu."

Aku tidak bohong. Rasanya amarahku sudah sampai pada puncak kepalaku. Bisa-bisanya dia menyebut gadis yang tidak kukenal ini sebagai adikku. Bisa-bisanya dengan tenang menyuruhku datang kemari untuk bertemu dengan anak seorang penghancur hubungan ayah dan ibuku. Bisa-bisanya...

"Jimin, bersikaplah seperti laki-laki dan−"

"Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau merasa sudah menjadi "laki-laki", ayah?"

"Park Jimin!"

"Apa ayah sudah merasa paling laki-laki dengan memilih wanita itu dari pada ibuku?! Apakah sekarang ayah lebih menyayangi gadis ini dari pada aku dan ibuku?! Jawab ayah!"

Gadis itu menyela dan beranjak dari kursinya sebelum ayah membalas perkataanku. Suasana restoran seketika menjadi tegang. Aku bisa merasakan para pelayan restoran meperhatikan kami.

"Mungkin sebaiknya aku pergi, Tuan Park. Aku tidak ingin menganggu waktumu dan anakmu. Kumohon jangan berdebat lagi." Setelah sedikit membungkuk pada ayah ia lalu menatapku. "Aku minta maaf, Jimin-sunbae. Seharusnya aku tidak kemari."

"Dan Sunbae.

Dari awal ibuku bukan pilihan yang harus ayahmu pilih. Dia adalah wanita bebas dan aku bangga menjadi anaknya. Permisi."

***

Ara

Aku ingin bumi menelanku. Aku ingin lautan menenggelamkanku. Atau jika itu terlalu berat untuk dikabulkan aku ingin menghilang dari orang-orang itu. Aku ingin membangun gedung pencakar langit dengan puluhan lantai dan tinggal dipuncaknya. Jauh dari rasa sakit, malu, dan benci dari orang-orang yang awalnya kupikir akan menerimaku.

Aku sudah bilang, sulit menahan air mata. Sulit rasanya bersikap bahwa perkataan seseorang tidak melukai hati. Sulit rasanya untuk membalas kemudian pergi dengan anggun seakan aku tidak terpengaruh oleh ucapannya.

Tapi aku melakukannya.

Aku juga berhasil mencari kereta pulang ke dormitory tanpa bertanya pada pejalan kaki disekitarku atau melihat maps diponselku. Aku berhasil melewati jalan pulang tanpa meneteskan air mata.

Selama perjalanan pulang dikereta aku mendengarkan lagu rap dengan tempo cepat dan musik yang keras menyumbat telingaku. Situasi aman. Kuharap sesampainya di dormitory Soojin sudah tidur, sehingga aku tidak perlu menceritakan apa yang baru saja kualami.

Kelemahanku hanya jika Soojin bertanya "Ada apa? Kau baik-baik saja?"

Dan ketika kakiku telah melangkah dan berhenti didepan pintu kamarku dan Soojin. Aku tidak sanggup untuk membuka pintunya.

Aku tidak sanggup jika Soojin bertanya. Aku juga tidak sanggup jika Soojin telah tidur. Aku takut ketika aku melangkah masuk, kejadian malam ini tidak menghilang dan tinggal dibenakku. Aku harap ini hanyalah mimpi buruk yang akan kulupa.

Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi.

Ini nyata, Park Ara.

Kau tidak diinginkan.

Aku hanya bisa bersandar dan merosot jatuh terduduk didepan pintu.

Menangis seperti aku tidak pernah menangis sebelumnya.

***

Taehyung

"Jiminie?" Bunyi pintu terbuka membangunkanku. Hanya suara sepatu yang dilepas dengan kasar tanpa adanya balasan dari panggilan−sedikit mengigau dariku.

"Jimin?" Kali ini aku beranjak dari tempat tidur. Aku bersumpah jika bukan Jimin aku akan berteriak dan mendorongnya dengan keras lalu melaporkannya kepada penjaga dan mebuat keluhan tentang keamanan pintu dorm.

"Iya, ini aku, pabo."

"Hey hey, kau mabuk? Astaga Jimin, kau bau alkohol. Kemarikan tangganmu." Dengan sigap aku memapahnya hingga terbaring dikasurku. Setelah melepas mantelnya dan membuka kancing kemejanya aku beranjak untuk mengambilkannya air putih. Ia harus sadar dan menceritakan semuanya dari awal ia pergi hingga ia mabuk sendirian seperti ini.

Lalu ia menangis.

"Jimin...?"

Jimin terus manangis. Memukul-mukul dadanya seperti orang yang kesakitan. Ia mencoba bangun namun pengar akibat alkohol membuatnya hanya bisa berguling ditempat tidurku.

"Bagaimana cara menghilangkan rasa sakit ini?! Keluarlah kau dari tubuhku! Aku tidak butuh hati! Buang saja! Aku tidak bisa!" Ucapnya berulang kali hingga telinga dan mukanya memerah.

"Jimin, hey Jimin. Tenanglah ada aku disini. Ada Taehyung disini.

Taehyugie disini. Sudah sudah, ssshh... tidak apa-apa. Menangislah."

Jimin menangis terisak didalam pelukanku. Menangis seperti anak kecil.

🌻🌻🌻

Setelah sekian lama aku kembali:)
Apa kabar kalian? Semoga sehat2 saja.

Maaf aku baru bisa update malam ini.

Kuharap kalian tidak berada diposisi 'ingin menghilang saja' seperti Ara.


Terima kasih karena sudah menunggu
Tandai cerita ini di librarymu agar muncul notifikasi update.
Jadilah pembaca yg baik dengan memberikan vote dan comment:")

Terima kasih, aku mencintaimu💜


ABOUT TIME || KTH [Revisi Setelah Tamat]Where stories live. Discover now