twenty-one

72 10 5
                                    

Holla! I am back.

Masih adakah yang menanti? Hmm! Ntah deh, tapi buat yang masih bersedia membaca, aku ucapin makasih banget lo.

Happy reading

-_-_-_-_-_-

Selama beberapa detik. Sebuah rasa baru, mendadak hadir saat melihat kebersamaan keduanya. Aku meyakinkan diri untuk tidak terpengaruh. Itu bukan urusanku.  Melewati mereka dengan sikap santai. Aku mendekati Claire yang muncul beriringan bersama, Zigler, Zacth, dan seorang Springer lain, dan aku lupa namanya.

"Sepasang kekasih akhirnya bersatu. Sangat mengharukan," komentar Claire, tanpa menutupi nada mengejek. Tangannya dilipat bersama dagu terangkat.

"Yah. Tidak ada yang lebih melegakan selain melihat orang terkasihmu hidup."

Zoe perlahan mengurai pelukan, tapi tetap memegang kedua ujung lengan atas Zeano sembail berpandangan. Senyumnya pun tak kunjung pudar. Aku ragu ia sadar akan situasi di mana kelakuan keduanya menjadi tontonan.

"Beruntung untuk kita. Mereka tidak ada di medan perang itu."

"Untukmu saja mungkin," balasku ragu, mengundang tatapan heran Claire. Lucy adalah seorang Warrior, walau tidak ada kepastian jelas apakah ia ikut dikirim atau tidak, tapi tetap saja kemungkinan itu besar, dan itu membuatku khawatir.

"Ow!" Suara Claire tersentak, badannya diputar menghadapku. Matanya memindaiku tajam, penuh penilaian, hingga seringai terbit di wajah cantiknya. "Di mana Grazier yang bersamamu? Hmmm! Biarkan aku ingat, siapa namanya?" Claire memasang raut berpikir. "Weizh, aku benar, kan? Di mana dia?"

Aku berani bertaruh Claire bertanya bukan karena peduli akan nasib Weizh. Ia hanya ingin mengganguku. Aku yakin sedikit banyaknya ia sudah memiliki tebakan atas nasib Weizh.

"Dia, mati."

Aku tidak benar-benar merasa nyaman saat kalimat singkat itu melewati bibirku. Namun itu juga tidak terasa salah. Aku tidak perlu menutupi apapun, kebenaran akan terbuka pada waktunya.

Lagipula aku tidak akan membuang waktu untuk menangisi kematian Weizh lagi. Walau tikaman rasa sakit tak pernah absen mengikuti tiap kali ingatan tentangnya terbersit, tapi aku juga tidak akan melupakan rasa panas yang membakar saat mengingat bagaimana penghianatannya. Mesti belum ada bukti konkret tapi pengakuannya mengarahkan ke sana.

"Menjadi potongan kecil di tangan makhluk itu."

"Apa kau serius?" Claire terperangah, terang-terangan merasa terkejut sampai mata birunya membulat lebar. Dalam diam aku menikmati perubahan ekpresinya.

"Apa kau melihat ada unsur bercanda di wajahku?"

Claire bungkam, untuk beberapa menit. Firasatku mengatakan ia sedang dalam proses penerimaan kenyataan. Ia jelas tidak memperkirakan bagian ini.

"Tidak!" Ia mengerjap, mengembalikan eksprei awalnya. "Maksudku, kau serius berekspresi begitu saat mengatakannya?" Ia mendenguskan napas setengah tak percaya.

"Yah, aku."

Kuyakinkan dia dengan ketegasan kata-kata dan sorot menantang. Aku tau bukan itu niatan sebenarnya dari pengorekan informasi ini dan akan kubiarkan ia mendapatkan keinginanya, tapi jelas dengan cara yang tidak dia harapkan.

"Kau tidak berharap bahwa aku akan mengatakannya dengan muka sedih dan air mata bukan?"

Mata Claire menyipit tak senang. Ia pasti sudah bisa menebak kalau aku menyadari niatnya dan untuk alasan itu ia merasa terganggu. Namun ia dengan lihai mengatasi keadaan.

ShifterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang