Ten

94 9 8
                                    

Holla! I am back.

Sebelum membaca, aku pengen nginfoin sesuatu. Agar kota Abul lebih mudah dibayangkan. Bagi kalian yang pernah nonton atau baca Naruto series. Kota Abul itu bentukkannya kayak Desa konoha gakure itu. Tebing sama temboknya. Kecuali tata kotanya, karena Abul itu kota yang ada di masa depan.

Happy reading.

*********

Kewarasanku mulai tergelincir, saat pilihan untuk diam dan beristirahat terasa begitu mengiurkan, tetapi aku malah melakukan tindakan sebaliknya. Meninggalkan kedamaian di ruang perawatan dan berjalan tak tentu arah.

Pangkalan sangat sunyi. Pasti semua orang sedang terlelap sekarang. Aku harus ke mana? Pandanganku bergulir, memindai seluruh penjuru. Hanya ada keheningan dan gelap. Mungkin sebaiknya aku kembali ke ruang perawatan.

Tepat ketika keputusan selesai ditentukan, sebuah suara terdengar. Aku diam dan mendengarkan. Arahnya dari ruang latihan. Siapa yang berlatih malam-malam begini?

Aku seharusnya tidak peduli, tetapi entah dorongan dari mana. Kakiku melakukan sebaliknya. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Tidak ada keraguan. Tanganku pun ikut berpartisipasi. Ia mendorong pintu, perlahan-lahan hingga apapun yang menjadi sumber suara itu terlihat.

Pertama-tama hanya sebuah samsak yang terpental. Seperti ayunan yang di dorong menjauh. Lalu kepalan tangan yang menyebabkan dorongan keras itu.

Siapa?

Tanganku membuka lebih lebar, dan aku cukup beruntung karena siapapun itu tidak menyadari perbuatanku. Kaos berwarna merah gelap.

Saint kah?

Mataku menyipit untuk melihat lebih detail. Rambut cokelat berantakan.  Zeano? Apa yang dia lakukan?

"Siapapun dirimu. Sebaiknya kau pergi, aku sedang tidak ingin diganggu." Ia berkata tanpa melihatku. Tangannya kembali berayun, memukul samsak lebih kuat.

Akan jauh lebih mudah jika aku menurutinya, tapi sekali lagi, kewarasanku sedang tidak berjalan pada jalurnya. Alih-alih menjauh aku malah melangkah mendekat.

"Aku tidak berencana mengganggumu." Gerakan tubuh Zeano berhenti. Jika mataku bekerja dengan benar, maka sekarang tubuh Zeano memang sedang menegang. "Aku pikir, mungkin bisa mencuri ilmumu sedikit."

Aku berhenti. Jarak kami hanya tiga langkah. Zeano basah, berantakan, yang entah bagaimana tampak lebih waw dari pada biasanya. Jemariku saling mencengkram erat di belakang. Menahan keinginan aneh yang timbul dengan cara tak wajar.

Mata hijau Zeano menatapku. Sorotnya di penuhi rasa kekesalan dan ketidakberdayaan akan sesuatu.

"Kau seharusnya memilih berkelit," katanya dalam. Tatapannya memindai setiap inci area wajahku. "jika menyerang tidak memungkinkan dan bertahan sulit untuk dilakukan."

Apa? Aku menjadi bodoh, dan kalimat Zeano terdengar ambigu. Kombinasi itu membuat kata-kata barusan menjadi tak tercerna dengan baik. Apa yang ingin ia sampaikan?

"Tunjukan padaku," balasku, ditengah kebingungan. Bergerak mengisik jarak."Bagaimana cara melakukannya?"

Nah, kewarasanku pecah. Menghancurkan batas-batas yang seharusnya tidak boleh kulewati. Ia instrukturmu, pikirku, bukan teman ataupun ... Aku menggeleng. Memangnya kenapa kalau ia instruktur? Bukankah mengajari memang tugas utamanya? Tapi ini diluar jam pelatihan. Pikiranku masih saling memperdebatkan pendapat.

ShifterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang