two

91 12 11
                                    

Happy reading

                             *****

Perutku berbunyi beberapa kali saat dalam pelarian, tapi aku tak menghiraukannya. Prioritasku sekarang adalah menjauh sejauh mungkin dari Ayah. Terkadang aku berpikir untuk pergi jauh, menghilang dari selamanya dari Ayah. Namun, aku tau, itu tidak akan pernah terjadi. Aku terlalu sayang pada Ibu dan tidak mungkin meninggalkan nya sendirian. Ibu tidak akan bertahan.

Langkah terus berayun seiring dengan perasaanku yang kian tak menentu. Aku kecewa, marah, juga lelah dengan penolakan Ayah. Semuanya bercampur menjadi satu.

Aku tidak ingat sudah sejauh mana langkah membawa. Ketika akhirnya kakiku tak sanggup lagi berlari. Kujatuhkan tubuh membiarkan diri dikuasi rasa lelah. Ketika akhirnya ketenangan menghampiri, kutatap sekeliling. Asing! Sepertinya, aku sudah terlalu dalam memasuki hutan.

Aku bersandar di batang pohon selama beberapa lama. Membiarkan angin mengeringkan keringat ditubuhku. Suasana hutan ini sangat tentram. Hanya ada kicauan burung dan desau angin.

Aku nyaris saja jatuh terlelap ketika mendadak suara yang sangat familiar terdengar.

"Oh, ghos! Akhirnya kau berhenti." Sean datang dari arah aku berlari sebelumnya. Ia tertunduk bertumpu pada kedua lutunya. Napas Sean tak beraturan dengan keringat mengucur deras di pelipisnya.

"Kau, mengikutiku?" Kutatap ia yang masih mengatur napas. "Sejak kapan?"

"Sejak kau melompati jendela kamarmu." Sean menjatuhkan tubuhnya, duduk berhadapan denganku.

Sean adalah satu-satunya teman lelakiku. Ia berusia dua tahun lebih muda dan sudah seperti adik kecil bagiku.

"Aku tidak mendengarnya," kataku, menatap wajah berantakkan nya dengan rasa bersalah. Pasti tadi aku kelewat marah makannya tidak dengar.

"Kau bercanda?! Aku memanggilmu sepanjang waktu dan kau bilang tidak mendengarnya? Oh, ghos! Apa yang terjadi padamu?"

Sean menyisir rambut pirang pasir basahnya, menggeleng kecil.

"Maaf!" kataku sunguh-sungguh. "Tadi, aku ...,"

"Terlalu terbawa perasaan," potongnya cepat. Mata birunya berotasi bosan." Yah, yah. Selalu seperti itu," cemoohnya. Aku merengut.

"Bertengkar dengan Ayahmu lagi?" Tebaknya tepat sasaran. Aku mengangguk. "Kali ini apa masalahnya?"

Meskipun masih terbilang muda, tapi cara berpikir Sean tidak seperti kebanyakan anak seusianya. Ia sangat dewasa. Terkadang aku meragukan kalau usianya lebih mudah. Dan untuk alasan itu aku sering menceritakan masalah padanya.

"Tidak, kali ini tidak bisa sepenuhnya disebut masalah. Kurasa, tadi itu agak terlalu emosional."

"Kapan sih? Kau tidak emosional kalau menyangkut Ayahmu?" Ia berkata dengan nada menyebalkan.

"Dia berbicara padaku tadi." Sean menatapku bingung. Jadi sebelum ia melemparkan banyak pertanyaan atau jawaban menyebalkan lagi, cepat-cepat kudahului.

"Ayah, berbicara padaku lebih dulu. Untuk pertama kali."

"Wow! Itu bagus," katanya takjub. "tapi, aku tidak melihat korelasi itu dengan ke'emosionalan'mu." Ia menekan kata emosional.

"Tunggu!" Ia kembali melanjutkan sebelum aku sempat menjawab. "Jangan bilang kalau kau sangat emosional karena sangat bahagia karena pembicaraan itu. Itukah alasan kenapa tenagamu jadi berlipat saat berlari tadi?"

"Tidak! Justru sebaliknya. Bisakah kau tidak menarik kesimpulan seenaknya sampai mendengar keseluruhan ceritanya?" Nada suaraku sedikit naik.

"Oke!" Ia menatapku menyesal. "Silahkan lanjutkan."

ShifterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang