Five

91 9 4
                                    

I am back.

First, i wanna say thank you so much. Karena kalian udah bikin cerita ini ada di peringkat satu #fiksi-ilmiah, beberapa hari lalu. Enggak tau kalau sekarang😂😂😂 tapi intinya makasih banyak. Aku seneng banget, sumpah ga nyangkah.

Happy reading

                 *********

Badan Bus sedikit bergoncang saat bergerak memutar haluan. Kami siap berangkat. Aku menoleh terakhir kali untuk melihat keluargaku. Ibu berdiri bersisian bersama Sean, mereka sama-sama memberikan senyum padaku. Sementara Ayah, ia tetap sama pada posisi semula, berdiri tegak mengawasi dari kejauhan.

Yah, setidaknya aku punya satu alasan untuk betah bertahan di Abul nanti.

Aku memejamkan mata, menikmati hembusan angin sejuk yang menggelitiki rambut pipiku. Awalnya terasa sangat menenangkan hingga beberapa detik berikutnya, kurasakan sapuan angin terasa sedikit lebih kencang, dan semakin kencang seiring laju Bus.

"Tutup jendelanya, Loui!" Prim sedikit berteriak.

"Tidak bisa," kataku panik, "Jendelanya macet."

Berada dalam satu tempat yang sama dengan anak-anak dari Pack Tiller yang jelas-jelas memusuhi kami. Aku tidak mengharapkan apapun termasuk ketenangan, tapi bukan berarti aku setuju untuk terlibat dalam hal gila ini.

Bus melaju dengan kencang, setara dengan kecepatan angin badai. Semua orang menjadi panik, sama sekali tidak memperkirakan hal ini akan terjadi.

"Aarrrrrgh!"

Seorang anak di bangku seberang berteriak kencang, mengagetkan semua penghuni Bus. Namun tidak ada orang yang cukup peduli untuk menegurnya. Semua sibuk dengan diri masing-masing.

Aku menggigit bibir, memegang ujung bangku yang kududuki dengan sangat erat hingga terasa sakit. Rambutku yang terurai berterbangan ke segala arah. Jika tau begini, aku tak akan memilih di dekat jendela.

Embusan angin membuatku serasa melayang. Aku tidak bisa mendapatkan oksigen dengan benar, dan tersedak angin berkali-kali.

Apa yang sebenarnya dipikirkan para Warrior ini?

Suasana di dalam Bus benar-benar kacau. Semua anak berteriak tak terkendali. Aku merosot turun, berjongkok di lantai demi mengurangi frekuensi angin yang menghantam tubuhku. Namun itu tak membuat perubahan banyak. Angin tetap saja menyapu tubuhku, membuatku gemetaran.

Berapa lama aku harus merasakan ini?

Satu jam atau lebih berlalu. Aku menemukan diriku dalam posisi sama, meringkuk di kolong Bus yang terus berguncang, dengan tangan menutupi telinga, dan wajah terbenam di lutut. Posisi ini membuat tubuhku terasa sangat kaku, karena terus menerus tertekuk. Pikiran mengerikan kalau nanti tubuhku akan tetap seperti itu selamanya, dan tidak bisa diperbaiki membuatku bergidik.

Aku berusaha mengusir bayangan mengerikan itu dengan memikirkan semua hal tentang Ibu. Lengkungan sudut bibirnya saat tersenyum, pelukkan hangatnya kala aku akan terlelap, juga kerut kemarahan di dahinya kalau aku melakukan kesalahan.

Aku terus memikirkan itu sepanjang perjalanan. Kalau saja tidak sengatan rasa sakit dari kepalaku yang terantuk sisi bangku. Aku pasti tidak akan sadar bahwa Bus sudah berhenti berjalan.

"Akhirnya," lirih kudengar gumaman Prim, lalu diikuti suara muntahan, tidak hanya satu melainkan banyak.

Pelan-pelan kugerakkan tubuh. Ada bunyi seperti robekan kain yang terdengar dekat. Dan aku tidak tau kalau itu adalah bunyi ototku sendiri, sampai rasa nyeri menyerang di bagian belakang kepala. Ini pasti karena tertekuk dalam waktu yang cukup lama, tapi tidak apa, itu masih lebih baik.

ShifterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang