Part 2 - Come Home In Emptiness

407 56 9
                                    

Unit apartemen 28C terlihat sepi. Aku menatap pintu coklat itu sambil menghela nafas. Ini unit apartemen Stefan. Sementara milikku ada di ujung lorong, unit 28A, iya kami selantai, dan karena itu pula makanya aku bisa mengenal Stefan. Aku jadi ingat awal pertemuanku dengan Stefan sekitar lima tahun yang lalu. Pertemuan yang menjadi awal di mana aku bisa punya cowok yang benar-benar kutaksir setelah putus dari Leo, salah satu mantanku yang brengsek dulu yang ku pacari cuma kira-kira lima bulan.

Saat itu Stefan baru aja pindahan ke apartemen ini. Sementara aku saat itu baru pulang dari kantor larut malam karena saat itu aku masih seorang junior attorney yang baru dapat kasus besar pertama dan membuatku jadi super sibuk karena aku ingin benar-benar total di kasus pertamaku ini. Saking sibuknya, aku jadi tidak sempat belanja bahan makanan apapun sampai kulkasku kosong melompong. Ketika aku memutuskan untuk ke mini market, aku melewati unit apartemen 28C yang pintunya terbuka.

Iseng, aku mengintip dari luar dan mendapati Stefan sedang sibuk menggantung lukisan-lukisan di dinding ruang tamunya sendiri. Aku melihat sekeliling unit apartemen Stefan, interiornya keren dan maskulin dengan warna-warna coklat sebagai dominasinya, banyak lukisan-lukisan keren tergantung di sana.

Aku memang bukan seseorang yang ahli dalam hal lukisan, nggak pernah ngerti malah, tapi aku mendadak suka melihat lukisan-lukisan keren seperti yang tergantung di apartemen Stefan itu. Terutama sebuah lukisan besar bergambarkan seorang wanita cantik yang di pajang di dinding dekat pintu masuk yang paling menarik perhatianku. Warnanya di dominasi coklat, hitam, dan putih, sehingga membuat lukisan itu jadi terlihat indah banget.

"Halo..."

Aku sontak terlonjak kaget mendengar sapaan Stefan padaku yang tiba-tiba. Mampus gue, ketauan ngintip lagi sama yang punya, malu bangeeet! Aku langsung salah tingkah dan cuma bisa nyengir malu karena kepergok ngintip ke unit apartement Stefan. Sementara Stefan tidak terlihat terganggu apalagi marah, dia justru memberikan senyum hangatnya padaku, membuatku saat itu langsung terpesona.

"Hai," sapanya sekali lagi.

Aku tersenyum canggung pada Stefan dan membalas sapaannya. "Hai juga. Baru pindah ya?" tanyaku basa-basi.

"Iya. Baru masuk tadi siang."

"Oh. Pantes paginya belum lihat," jawabku lagi kikuk. Asli malu banget ngintipin orang malem-malem. Mana yang di intipin cowok lagi, cowok ganteng pula! Udah mana penampilanku malam itu nggak banget. Nggak makeup, dengan rambut di cepol berantakan, pake kaca mata bacaku yang tebel itu, kemudian cuma pake celana piyama panjang dan kaus bergambar Winnie the Pooh yang udah dekil parah karena udah ada sejak jaman kuda gigit besi. Pasti pada bisa ngebayangin betapa cantiknya gue malam itu, kan?

Stefan lalu meninggalkan lukisan bergambar pemandangan sungai Seine yang barusan sedang akan di gantungnya begitu saja di lantai ruang tamu dan berjalan padaku yang masih berdiri di depan pintu. Dia kemudian ikut memandang lukisan wanita cantik yang barusan menarik perhatianku itu sambil melipat tangan di dada.

"Sori ya kalau aku ngintip. Tadi lihat lukisan itu. Lukisannya indah banget," ucapku sambil menunjuk lukisan itu. "Lukisan ini kamu lukis sendiri?"

"Iya. Ini lukisan saya sendiri," jawabnya padaku.

"Bagus banget. Model wanitanya juga cantik," ucapku lagi.

"Iya. Itu almarhum Ibu saya."

Jawabannya membuatku terkejut. Astaga! Apa yang baru aku lakukan, ya?

"Maaf, ya, aku nggak tau..." jawabku penuh rasa bersalah. Dia kemudian menoleh dan menatapku bingung.

"Lho? Kok minta maaf?"

The Paradox of EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang