Part 3 - How Can You Sing Again

325 55 14
                                    

Enggak pernah ada pagi yang tidak hectic untukku. Sambil menelepon Indra, junior intern di kantorku, aku buru-buru memasukan laptop juga berbagai barang-barang serta dokumen-dokumenku kedalam tas. Biasa, kebiasaan last minute packing dari kecil nggak ilang-ilang, gini deh jadinya. Udah gitu juga... Hmm... Sebenernya aku telat bangun karena nggak ada morning call dari Stefan yang bangunin aku seperti pagi-pagi biasanya.

Jadi waktu aku dan Stefan masih jadian, selain jadi pacar, Stefan juga merangkap sebagai weker. Secara dia itu super morning person, sedangkan aku... Yaa... Nggak bisa bangun pagi gitu, deh. Jangan ngatain, ya, cewek cantik itu memang selalu membutuhkan beauty sleep-nya. Dan tidur rata-rata diatas jam satu malam karena kerjaan yang sialan, kemudian harus bangun jam setengah enam pagi jelas bukan memenuhi kriteria beauty sleep, kan? Hehehe... Alibi banget nggak sih, gue?

Oke, jadi pokoknya dulu waktu jadian, Stefan selalu nelepon sambil menekan bel pintu setiap pagi untuk bangunin aku sekalian mengucapkan selamat pagi dan minta jatah ciuman pagi setelah dia selesai jogging. Tapi berhubung kami udah putus, mana ada lagi telepon-telepon kayak begitu, sekaligus sama ucapan "Selamat pagi, Sayang." dan juga ciuman paginya. Udah gitu begonya lagi, aku juga semalem lupa setel alarm di HP, lupa kalau aku sudah tidak punya human-weker lagi. Padahal kemarin juga udah kesiangan. Ya abis udah kebiasaan ada yang bangunin, sih.

Ini lagi si Indra udah dikasih tau seribu kali tetep nggak ngerti-ngerti juga. Nggak tau gue lagi ribet apa, ya? "Aku kan udah bilang, Ndra, karena Pak Hendro dan Ibu Erni tidak buat perjanjian pra-nikah, otomatis semua hartanya sekarang yang diperoleh sejak hari pertama mereka menikah adalah milik bersama. Nah itu harta gono-gini. Kita bisa mengajukan gugatan Bu Erni ke pengadilan agama atas permohonan pembagian harta gono-gini. Kamu buat aja surat gugatannya. Coba kamu tanya sama Mas Kusmo yang emang kuasai wilayah perdata," ocehku di ponsel yang masih diapit di pipi dan bahu sambil keluar dari apartement dan mencoba mengunci pintu apartemen dengan susah payah karena kedua tanganku sudah kerepotan menenteng bawaan.

Tiba-tiba tangan seseorang yang amat kukenali terulur. Aku menoleh dan menemukan Stefan sedang berdiri disebelahku. Dia kemudian meraih kunci yang ada di tanganku dan mengunci unit apartemenku tanpa mengucapkan sepatah kata apapun sebelumnya. Membuatku otomatis juga jadi kicep, tidak mendengar lagi ucapan Indra di telepon.

"Kuncinya mau aku taruh mana?" tanya Stefan setelah mengecek pintu apartementku sudah betul-betul terkunci apa belum.

"Sini," jawabku sambil meraih kunci yang ada di tangan Stefan. Setelah itu, Stefan berlalu begitu saja. Meninggalkan aku menuju lift.

"Ndra, nanti aja di kantor ya," aku langsung mematikan telepon Indra dan memasukan ponselku kembali kedalam tas beserta kunci pintu barusan lalu ikut berjalan menuju lift. Dan disana, kami berdiri bersisian dalam diam dan kecanggungan. Walaupun kami tidak mau melihat satu sama lain secara langsung, aku bisa melihat kalau Stefan sesekali mencoba melihatku dari pantulan pintu lift seperti aku yang juga mencoba melihatnya lewat pantulan lift. Dan tiba-tiba pandangan kami beradu. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku ke arah lain lebih dulu, menghindari tatapannya. Sampai pintu lift akhirnya terbuka. Lagi-lagi kami berjalan masuk ke dalam lift masih tanpa bicara.

Tetapi beberapa detik yang hening di dalam lift berlalu, Stefan tiba-tiba buka suara. Mengejutkanku yang masih canggung berdiri disebelahnya.

"Tumben siang? Kesiangan?" tanyanya datar.

Nih orang barusan diem aja, sekalinya ngajak ngomong malah ngajak ribut. Aku yakin dia tau kalau aku kesiangan soalnya nggak ada dia yang bangunin aku seperti biasa. Makanya aku buru-buru memberikan alasan lain agar dia nggak ke-PD-an. "Abis nyari-nyari berkas yang nyelip," jawabku bohong tapi dengan nada sama datarnya.

The Paradox of EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang