Part 4 - Whatever This Is

265 56 10
                                    

Mall Alam Sutera hari ini cukup sepi untuk di telusuri sendirian ketika aku sedang mencari kado buat Stella. Tapi setelah hampir setengah jam muter-muter Sogo, aku masih belum bisa menentukan tas model apa yang akan aku belikan untuk adikku yang agak ribet itu. Abis aku tuh nggak tau selera Stella kayak gimana, soalnya walaupun kami kakak beradik, kami itu beda banget. Sampai sekarang saja, dia nggak pernah sekali pun minjem atau minta barang-barangku. Beda selera katanya, secara dia memang lebih tomboy dariku dalam urusan fashion.

Dan ditambah lagi Stella itu rada banyak maunya. Kalau dibeliin, lebih sering nggak suka dan nggak sesuai sama selera dia, akhirnya jadi nggak dipake. Nanti kalau udah dibeliin mahal-mahal terus nggak dipake sama tuh anak kan ngebetein banget. Ribet banget emang anak itu, apa kasih mentahnya aja, ya? Biar dia suruh beli sendiri semau dia.

Di tengah memilih, ponselku bergetar. Aku buru-buru mengambil benda itu dari dalam tas dan mengangkat telepon setelah menemukan nama Mama dilayar.

"Halo..."

"Halo, Yuki? Ini Mama," suara Mama terdengar dari ujung telepon.

"Iya, kenapa, Ma?"

"Kamu dimana?"

"Ini lagi di Mall Alam Sutera, Ma. Kenapa?"

"Loh? Ini udah jam setengah enam, Yuk. Temen-temennya Adek udah pada dateng, acaranya juga udah mau mulai. Nanti si Adek ngambek, loh."

"Iya, Ma. Ini juga lagi nyari kado buat Adek. Yuki belum sempet beli kado soalnya. Kalo temen-temennya Stella udah pada dateng, acara mulai aja, Ma. Enggak apa-apa, kok. Tapi ini bentar lagi juga jalan kesana. Sabar ya, Madre."

"Iya, iya. Yaudah. Cepet ya, Kak."

"Iya, Mam."

Setelah menutup telepon, aku kembali melihat-lihat tas dan akhirnya memilih tas berwarna hitam dengan tali rantai yang kayaknya pasti Stella suka. Saat aku hendak berjalan menuju kasir, aku melihat seseorang yang kukenali sedang berdiri di bagian sepatu-sepatu dan terlihat kebingungan. Itu bukannya si Al temennya Stella yang dulu juga tetangga kami waktu kami masih tinggal di Rawamangun, kan, ya? Aku mencoba mendekat untuk memastikan kalau tebakanku benar. Dan ternyata, aku tidak salah, itu emang Al walaupun sekarang sudah remaja.

"Al," aku menepuk pundak Al, dan cowok itu langsung menoleh kemudian terkejut melihat kehadiranku disebelahnya.

"Lho, Kak Yuki?"

"Tuh kan bener, ini Al. Apa kabar?"

"Baik, Kak. Lo apa kabar, Kak?"

"Gue baik juga. Eh, ternyata lo masih inget sama gue juga, ya." Aku tertawa kecil pada Al yang juga menatapku dengan tampang senang.

"Iya lah, Kak. Mana mungkin gue lupa sama lo yang jutek, yang selalu ngusir-ngusir gue dan Stella kalau lagi main dirumah lo."

Aku jadi tertawa mengingat ketika dulu aku masih SMA, dan Stella juga Al masih bocah-bocah, aku emang selalu terkenal jutek ke mereka dan juga temen-temennya Stella yang suka main ke rumah. Dan dulu, si Al ini yang emang tinggal disebelah rumah, suka main sepeda sama Stella. Terus biasanya aku suka ngomel-ngomel kalau mereka udah main, terus berisik, abis itu, kalau Stella nangis, aku yang bakal diomelin sama Mama.

Al berubah banget sejak terakhir kali aku melihatnya kira-kira delapan tahun yang lalu ketika keluargaku akan pindah dari Rawamangun menuju BSD. Disitu mungkin Al masih SD. Sekarang, udah gede dan dewasa dengan penampilannya. Dia udah nggak bulet lagi, malah jadi atletis dan jangkung jauh melebihi aku. Udah gitu ganteng pula gedenya, kalem lagi. Nggak badung lagi kayak dulu.

"Lain banget lo ya sekarang. Gue barusan hampir aja nggak 'ngeh kalau itu elo, Al. Abis udah nggak bulet lagi, sih."

Al tersenyum malu sambil mengelus tengkuknya. "Olah raga, Kak. Biar sehat."

The Paradox of EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang