Part 14 - Rainy Day Confession

244 62 27
                                    

"Jadi lo nelepon gue di tengah-tengah kerjaan gue cuma buat ngadu kalau Al belom hubungin elo lagi tiga hari ini, gitu?" tanya Ivy di ujung telepon. Aku menghela nafas panjang.

"Iya! Gara-gara lo nih, Vy! Dia marah kali gara-gara lo read WA dia kemarin, terus enggak dibales."

"Lah, napa jadi gue? Lagi lo kenapa enggak bales?"

Aku terdiam sesaat. "Abis gue bingung mau bales apaan, Vy."

"Astaga, Yuki! Gini nih, kebanyakan bergaul sama ABG, jadi ikutan ABG juga kan lo!" celoteh Ivy di ujung telepon. "Yaudah sih, kalau lo emang pengen tau kabarnya, ya hubungin aja! Ribet banget! Udah ya? Gue masih sibuk! Enggak punya waktu buat ngeladenin telepon enggak penting lo. Bye!"

Tut... tut... tut...

Aku melongo ketika tiba-tiba teleponku diputus Ivy. Kurang ajar banget emang sahabatku satu ini. Udah dia yang bikin runyam, dia juga enggak mau tanggung jawab. Awas aja entar kalau ketemu, aku jambak rambutnya sampai botak.

Tapi tepat jam sembilan malam, aku nyaris melejit dari tempat tidur ketika ponselku memunculkan nama Al di layar. Akhirnya! Tanpa aku sadari aku bersorak girang dalam hati. Setelah beberapa hari ini ponselku sepi dari Al, nama tuh anak muncul juga. Berusaha sebisa mungkin terdengar wajar, aku mengangkat telepon dari orang yang kutunggu-tunggu itu.

"Halo?"

Tidak ada jawaban dari seberang, tapi aku bisa mendengar suara hujan lebat dari telepon. Memang langit sedang hujan besar sekarang. Aku jadi mengerutkan kening. Anak ini iseng niat telepon nggak, sih?

"Halo? Al?" sapaku lagi. Dan tiba-tiba suara Al terdengar. Pelan dan penuh kesedihan.

"Kak, gue butuh lo."

Aku jelas saja langsung terkejut mendengar suara Al yang hampir tidak terdengar karena suara hujan. Suaranya lirih dan juga lemah. Dan ucapannya semakin membuatku khawatir.

"Halo? Al? Lo kenapa?" tanyaku sarat kekhawatiran. Namun aku sadar, ini bukan saat yang pas untuk mejelaskan, jadi aku buru-buru mengganti pertanyaanku. "Lo ada di mana sekarang?"

"Gue ada di depan apartement lo, Kak."

"Hah?!" aku makin terkejut. Tapi lagi-lagi aku tidak menunggu penjelasan dan buru-buru turun dari kasur kemudian berjalan meninggalkan kamar. "Yaudah, yaudah. Gue turun, ya. Lo tunggu situ."

Dan secepat mungkin, aku memakai sandal dan mengambil payung sebelum meninggalkan apartement. Buru-buru aku masuk lift dan menekan tombol G. Kakiku mengetuk-ngetuk lantai saking tidak sabar, sementara mataku terus memperhatikan angka yang berganti di layar lift. Sampai akhirnya aku tiba di lantai dasar, dan aku langsung berjalan keluar lobby, mencari Al disana.

Terkejutlah aku ketika menemukan Al yang duduk di tangga lobby apartement dengan keadaan basah kuyup sambil menunduk. Buru-buru aku menghampiri Al dan menatap anak ini dengan pandangan khawatir karena memang tubuhnya basah kuyup.

"Al! Lo kenapa? Duh, lo kok hujan-hujanan gini, sih?!" kataku setengah berteriak karena mencoba melawan suara hujan. Al menengadah dan menatapku membuatku makin terkejut lagi. Ada beberapa luka dan memar di wajahnya, sedangkan aku bisa melihat kalau kedua matanya juga merah. Al habis menangis?

"Astaga! Muka lo kenapa bonyok semua itu, ya ampun!" aku berseru panik, tapi Al tidak menjawab apa-apa. "Yaudah, yaudah, kita ke apart gue aja, ya? Entar lo masuk angin. Yuk, cepet!"

Al akhirnya mengangguk. Dengan lembut, aku mengamit satu tangan Al dan menggandengnya masuk kedalam apartement. Di dalam lift, Al masih tetap tidak bicara apa-apa, begitu juga aku. Aku cuma sesekali menoleh ke arah Al dan memandangnya dengan tatapan khawatir sekaligus bingung. Namun kami berdua sama sekali tidak melepaskan gandengan itu dari satu sama lain.

The Paradox of EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang