Part 6 - Lines On Our Faces

344 61 18
                                    

'Senin jadi ke kampus gue kan Kak Yuk?' pesan WhatsApp dari Al masuk ke ponselku sore ini. Aku tersenyum membaca pesan dari anak ini yang sejak pisah di rumah Stella kemarin jadi intens chat-chat-an sama aku di WA.

'Jadi. Kenapa sih? Pengen minta bocoran, ya? Enak aja! Belajar sana.'

'Enggak, kok. Cuma pengen mastiin aja, biar gue mandi, dandan, pakai baju yg rapi, pake sepatu, terus pake pomade gitu.'

'Genit amat. Emang mau ngajak gue ngapain sih, 'cah centil?'

'Pengen ngajak jalan trus minta di traktir sama Mbak Yuki cantik. Boleeh?'

Lagi-lagi aku tertawa membaca pesan Al. Bocah ini, belajar dari mana dia sampai berani-beraninya menggoda wanita dewasa. Dewasa ya, bukan tua.

'Hahaha! Iya, nanti gue traktir cilok depan kampus lo. Jadi gausah rapi2 ya, Al. Kasian, percuma dandannya nanti sia2.'

'Pelit amat. Masa nggak mau sih Kak, jalan sama gue? Bentar doang, gue orangnya tuh gampang bikin nyaman, lho.'

'Sofa kali bikin nyaman. LOL.'

'Yeee, serius. Nih ya, Kak, gue kasih tau, saking gue anaknya gampang banget bikin nyaman, ada baiknya kalau lo jalan sama gue, lo harus hati2.'

'Hati2 kenapa? Nanti gue di labrak sama seribu cewek2 lo, ya?'

'Oh salah. Bukan salah sih, kurang tepat.'

'Pede ya anak ini, hahaha. Terus? Hati2nya kenapa?'

'Iya lo harus hati2. Hati2 nanti jatuh cinta sama gue.'

'Syid! Norak!'

Aku tertawa lagi membaca pesannya sambil mengirimkan stiker gambar poop yang di balas Al juga sama, tapi sayangnya ketika aku mau membalas, Ivy sudah keburu memergokiku.

"Adeuuh, senyum-senyum. Lagi chat sama siapa sih, Bu? Hepi banget kayaknya. Kasiah tau, dong," ledeknya sambil mendekat, mencoba ngintip pada siapa aku saat ini WA-WA-an. Aku buru-buru menjauhkan layar ponselku dari Ivy, males banget kalau sampe si mulut julid ini tau, nanti adanya aku di ledek habis-habisan. Kayak nggak tau Ivy aja.

"Apa sih? Kepo deh lo ya."

"Lho? Kok di umpetin? Hayooo, siapa, siapa? Gebetan baru, ya, Nyet?"

"Enak aja. Bukan, lah. Temen."

"Temen? Tapi kok kalau cuma temen pake rahasia?" Ivy sepertinya tidak percaya, dan memang kayaknya nggak akan percaya dengan penjelasanku. Tapi apa lagi yang harus aku bilang? Al kan memang cuma temen, temennya Stella pula.

"Ya, suka-suka gue lah ya, Nyet. Kepo deh lo jadi orang. Lagian cuma temen. Udah lah, nggak penting banget buat lo."

"Oh, iya iya, deh. Sebagai sahabat yang baik dan pengertian, gue diem, deh. Tapi kalau boleh nih, Neng, boleh nggak kita-kita ini nggak lo anggurin? Si Mister Gey lagi jadi Mbok Berek di dapur, lo sibuk sama hp lo, gue kan bosen cengok sendirian. Temenin gue ngobrol kenapa, sih?"

"Iya, Bawel! Lo juga dari tadi lagi telponan sama si Yoga, kan? Gue di cuekin."

"Udah kelar dari tadi, mongki. Udah lah, temenin gue ini, nontonin betapa hebohnya drama Kourtney yang lagi ribut sama si Kim dan Khloe. Ribut mulu anjir tuh keluarga. Kayaknya mereka nggak bisa ya hidup berkeluarga damai-damai. Perkara nggak dateng ke baby shower aja udah kayak ngerebutin warisan tanah di kampung. Dasar nih Kardashians, no-drama-no-money."

Aku pun akhirnya meletakan ponsel dan menuruti ucapan Ivy kembali menonton Keeping Up with The Kardshians di E!. Sementara wangi beef  teriyaki masakan Rendy yang sudah hampir matang tercium di seluruh ruangan apartemenku. Seperti biasa, kalau Rendy dan Ivy lagi main ke apartement, kami biasanya suka todong Rendy masak, karena masakan Rendy itu enak-enak, nah ini katanya Rendy baru eksperimen teriyaki yang kayak di HokBen itu, makanya aku dan Ivy langsung mina si Mr. Gey (re: Gay)–panggilan sayang kami pada Rendy, pelesetan dari Mr. Christian Grey, Fifty Shades of Grey–untuk masakin. Dan seperti biasa juga, sementara Rendy masak, aku dan Ivy akan bertingkah seperti anak manis untuk duduk di ruang tamu, menunggunya dengan sabar sambil asik gegoleran di sofa dan ngemil cheese stick yang ku bawa dari rumah Mama tadi pagi sebelum pulang lagi ke Jakarta.

The Paradox of EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang