Part 13 - The Broken Chains

210 52 8
                                    

Mataku terus memperhatikan dua pasang kekasih yang duduk tak jauh dariku sambil menghabiskan satu cup caramel macchiato dan tuna puff di Starbucks, Kuningan City, untuk mengisi waktu break kantor. Mood-ku belum balik juga sejak pertengkaran besarku dengan Stefan semalam yang berujung dengan selesainya hubungan kami secara total. Bagus lah, setidaknya sudah tidak ada lagi hal yang tidak aku dan Stefan sama-sama sepakati tentang berakhirnya hubungan kami. Karena aku juga capek harus mengulang keributan-keributan ini lagi sama dia kalau ternyata masih ada yang harus di luruskan. Tapi entah kenapa, kekesalanku karena semalam masih belum hilang. Well, second step of grief: anger. What can I say?

Udah gitu yang makin bikin bete, Al juga tiba-tiba hari ini enggak hubung-hubungin aku lagi. Enggak ada SMS, telepon, atau WA lagi dari Al. Padahal kalau Al telepon, aku pasti akan angkat. Karena aku lagu butuh Al untuk menghilangkan kekesalanku. Eh anak ini ikut-ikutan nyerah juga untuk me-reach out. Kan ngeselin, ya? Segitu doang, nih? Payah banget! Nggak tau apa kalau dia nyoba sekarang nih, pasti dapet tuh, secara aku lagi kesepian gini, kan. Sementara dua mongki kesayanganku juga lagi sama-sama sibuk. Si Ivy lagi sibuk untuk dekor bridal shower kliennya di Bistronomy, sementara si Rendy lagi sibuk sama kerjaannya di kantor yang membuatnya jadi lebih banyak lembur akhir-akhir ini. Makanya aku enggak bisa ngajak mereka untuk hang out juga. Rese, giliran lagi pengen di temenin, orang-orangnya pada ilang semua.

Balik ke dua pasangan yang lagi bikin film sendiri di depan mukaku ini. Pasangan pertama yang sepertinya pasangan baru itu, ada di sebelah kanan. Mereka terlihat sangat mesra dan romantis walaupun agak jijik juga, sih. Mereka duduk sebelahan dengan si cowok yang tangannya ramah a.k.a rajin menjamah di pinggang ceweknya, ngobrol bareng, ketawa bareng, kadang-kadang si cowok suka nyolong-nyolong buat nyium pipi ceweknya–kalau yang itu, aku agak eneg juga lihatnya, plis deh, PDA it's so un-cool, bro!–dan mereka terlihat amat bahagia.

Melihat itu, aku jadi teringat tahun-tahun awal hubunganku dengan Stefan yang juga pernah sebahagia dan semanis itu–namun enggak norak kayak gitu, juga. Saat awal-awal hubungan kami, Stefan yang walaupun nggak pinter bermanis-manis masih sering banget bikin aku berbunga-bunga dengan caranya sendiri. Misalnya, tanpa telepon atau ngabarin lewat apapun, tiba-tiba cowok itu bilang kalau dia udah di depan kantorku untuk jemput ngajak makan. Stefan juga sering memberi kejutan padaku, bukan dengan bunga atau boneka yang Stefan tau akan berakhir tidak berguna, tapi dengan menitipkan dua cup caramel macchiato Starbucks yang merupakan favoritku ke resepsionis setiap kali aku akan lembur. Dan ketika aku sudah selesai lembur, tiba-tiba cowok itu sudah duduk di lobby, menungguku pulang hanya sekedar untuk menyupiri aku sampai apartemen. Sederhana, tapi manis untukku.

Namun lagi-lagi pandanganku terarah pada pasangan yang duduk di meja sebelah kiri. Pasangan itu duduk berdua, saling berhadapan, namun terasa terpisah. Seakan ada dinding fatamorgana diantara mereka yang membuat keduanya walau duduk berhadapan seakan tak saling melihat. Si cowok yang sedang menikmati kopinya terus sibuk dengan iPhone-nya, sepertinya sedang menerima telepon yang sangat penting. Tidak menghiraukan si cewek yang dengan ekspresi datar melihat kearah kaca, duduk dengan kaki yang disilang dan tangan yang dilipat di depan dada, postur yang sangat mencerminkan kalau dia sedang dalam kondisi tertutup untuk berkomunikasi dalam hal apapun. Dingin, dan terasa tidak saling menginginkan kehadiran satu sama lain.

Dan apa yang terjadi diantara pasangan itu juga terjadi diantara aku dan Stefan di masa-masa akhir hubungan kami. Hubungan kami yang awalnya hangat itu mendingin. Aku dan Stefan lebih sibuk dengan urusan masing-masing. Aku yang semakin repot di kantor jadi tidak bisa sering mengontek Stefan yang juga sedang sibuk. Kami jadi jarang berkomunikasi. Kalau kami sedang berdua, kami jadi lebih banyak diam dan sibuk dengan urusan masing-masing. Dan itu juga yang membuat kami jadi merasa takut untuk masuk kedalam kehidupan masing-masing dan mengganggu satu sama lain yang sudah sangat sibuk dan terlalu lelah sendiri. Maka ketika kami mulai menjauh, ketika itu pula pertengkaran-pertengkaran di antara kami jadi makin sering terjadi. Makin bikin muaknya lagi, setiap kali aku dan Stefan berantem, si Stefan ini pasti larinya selalu ke Sandra. Kayak kurang aja rumah lain yang bisa dia datengin, apa-apa Sandra, apa-apa Sandra. Gimana nggak gondok, kan?

The Paradox of EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang