Part 8 - Lioness VS Hyenas

265 57 15
                                    

Kepalaku rasanya sudah cenat-cenut, mataku juga sudah pedih, pantatku sudah panas, dan pinggangku sudah mau patah akibat duduk di depan layar laptop selama hampir lebih dari sebelas jam dan menganalisis kesepakatan investasi salah satu perusahaan besar di Singapura ke salah satu perusahaan tambang di Banjarmasin. Tiga cup Starbucks ukuran ventie bekas caramel macchiato yang sudah kosong masih ada di mejaku dan akan disusul dengan satu cup terakhir yang tinggal setengah.

Sabtu ini, hari dimana seharusnya aku sedang leyeh-leyeh dirumah atau senang-senang di salon dan spa, justru harus dirusak dengan panggilan dari kantor yang membuatku harus duduk di kantor untuk bekerja. Udah gitu, kasus yang sedang kutangani ini adalah salah satu big case bagi kantorku dan aku juga. Makanya seluruh team enggak bisa bekerja dengan santai dan main-main, juga harus teliti berat. Karena kalau sampai kami salah analisa, kerugian yang kami sebabkan bisa sampai ratusan miliar, dan juga mengakibatkan aku yang akan gagal ganti mobil baru, guys. Makanya aku dari tadi udah mau pingsan ngebacain surat-surat perjanjian begini dengan hati-hati, karena aku yakin, kalau sampai aku bikin perusahaan yang sedang kutangani ini merugi, mau jual ginjal atau jual diri sekalian juga aku nggak akan bisa mengembalikan kerugiannya. Jadi aku juga nggak berani main-main.

Aku menghela nafas panjang sambil membalik halaman yang baru selesai kubaca. Sambil meraih cup Starbucks-ku, aku merenggangkan otot-otot leher yang pegal. Diluar udah sepi. Kayaknya semua orang kantor sudah melarikan diri dari tadi, deh. Pokoknya, setelah kasus ini kelar, aku harus nge-spa, nyalon, belanja, dan melakukan apapun untuk mengembalikan kewarasan setelah hampir dua minggu berkutat dengan KUHD dan segala tetek bengek pembuatan agreement yang sedang aku kerjaan sendiri ini. Kalau enggak, gue pasti bisa jadi gila. Ngerjain setengah mati buat kasus yang nilainya ratusan miliar, sedangkan duitnya entar lari kemane, gue cuma dapet ampas-ampasnya doang. Kan kampret.

Tiba-tiba pintu ruanganku terdengar di ketuk.

"Iyaa, masuk, Kar."

Sekar, salah satu lawyer yang bekerja bersamaku dalam kasus ini menyembulkan kepalanya di sela pintu yang terbuka. "Heh, lagi ngapain lo?"

"Ini, lagi baca legal opinion-nya. Kenapa, Kar?"

"Belum kelar juga? Emang lo enggak mau balik, Yuk? Udah jam delapan, nih."

"Hah? Serius udah jam delapan?" aku melihat Aigner silver yang melingkar di pergelangan tangan kiriku dan terkejut. "Gila, gue enggak sadar. Gue lagi fokus banget soalnya."

"Makanya gue kesini mau ngingetin sekaligus ngecek keadaan lo, masih idup atau enggak. Abis lo sepi banget, enggak kedengeran apa-apa dari luar. Gue kira lo udah mati tau."

"Sialan lo," jawabku sambil tertawa.

"Hehehe... Balik yuk! Gue udah dijemput Reno nih. Agreement-nya lanjut Senin aja. Gue juga udah mentok hari ini. Enggak lucu kan kita ngelembur pas malam Minggu begini, Yuk. Senin aja. Gue juga pengen pacaran, nih."

Aku lagi-lagi tertawa sambil bangkit berdiri. "Yaudah, capcus."

Menyerah dengan kesuntukanku, aku pun setuju untuk akhirnya pulang. Udah penat banget kepalaku harus kerja di hari yang seharusnya jadi hari haram ngantor ini. Berendam air hangat dengan bubble bath di bath tub ditemani dengan lilin-lilin aroma terapi dan musik yang mengalun lewat MP3 player sounds like a very great idea. Sepertinya itu yang akan aku lakukan setelah sampai rumah.

"Gila, ih, capek banget gue. Mata gue ampe sakit dari tadi, gila. Pak Roy tuh ganteng-ganteng tapi sadis, ya. Masa kita di penjara disini, sementara dia lagi enak-enakan di Manchaster sama keluarganya? Tegaaaa!" keluh Sekar saat kami berjalan keluar dari kantor menuju lift.

The Paradox of EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang