Part 9 - History Repeats Itself

295 56 21
                                    

Aku keluar dari lift dan mendapati Al yang duduk di sofa lobby sedang melambai ke arahku. Melihat kehadiranku, Al langsung bangkit berdiri dan menungguku yang berjalan menghampirinya dengan senyum lebar yang membuatku tidak sadar jadi ikut senyum juga.

"Hai, Kak!" sapanya saat aku kini sudah berdiri di hadapannya.

"Hai, Al. Lo kenapa mendadak kesini? Enggak bilang-bilang dulu lagi," tanyaku sambil menatap Al bingung.

"Gue kesini pengen nunjukin lo sesuatu, Kak."

"Apa?"

Senyum Al makin melebar. Dan kemudian dia menunjukkan ponselnya padaku dengan wajah penuh kebanggaan. Saat aku membaca apa yang Al tunjukkan lewat layar ponselnya, aku juga ikut terperangah senang.

"Hasil UTS Business Law lo dapet delapan?"

"Delapan sembilan, Kak! Itu ada sembilannya. Berarti gue hampir dapet sembilan puluh."

"Iya, iya. Delapan sembilan. Bagus, dong? Hebat!" aku memujinya dan mengacungkan ibu jariku pada Al.

"Ini semua kan berkat lo. Karena lo mau ngajarin gue waktu itu, gue jadi bisa dapet nilai bagus."

Aku tersenyum pada Al sambil mengingat seminggu yang lalu. Ketika Al mengajakku bertemu untuk minta bantuan menerangkan bahan-bahan yang akan masuk kedalam UTS. Semenjak aku mengajar di kampus Al, hubunganku dengan Al jadi akrab. Aku dan Al sering saling WA dan teleponan. Awalnya hanya menanyakan soal materi, tapi lama-lama percakapan kami jadi berkembang ke hal-hal lain. Kemudian, seminggu yang lalu, lewat percakapan di WA yang entah di mulai dari apa, Al tiba-tiba memintaku untuk mengajarinya, dan terima kasih padaku, anak ini sekarang berhasil dapat nilai UTS terbagus dalam sejarah perkuliahannya, karena katanya, nilai paling bagusnya itu 60. Dasar!

"Gitu dong. Gue kan seneng kalau lo bisa dapet bagus, Al. Berarti usaha gue yang setengah mati untuk ngajarin lo itu nggak sia-sia."

"Setengah mati? Emang segitunya banget ngajarin gue, Kak?"

Aku tertawa. "Bisa dibilang begitu," sahutku. Kemudian aku menepuk pundaknya. "Tapi nggak pa-pa, belum sampe bikin mati beneran, kok. Jadi, selamat, ya."

"Nah! Berhubung lo udah bikin gue dapet nilai bagus dan setengah mati ngajarin gue, gimana sebagai ucapan terima kasih, malam ini gue ajak lo jalan-jalan?"

"Jalan-jalan? Sekarang banget?"

"Iya, malam minggu, nih. Keluar, yuk. Kebetulan malam ini kan Sheila on 7 ada gig di The Pallas, dan band temen gue jadi salah satu opening act-nya. Jadi gue mau kesana, dan kalau lo nggak ada acara, ikut yuk, Kak? Abis itu, gue traktir makan, sebagai ucapan terima kasih. Gimana?"

"Nng... Sheila on 7, ya? Gue pengen sih. Cuma gue lagi capek banget dan lagi pengen goler-goler aja sambil marathon Friends, nih. Jadi, enggak, deh."

Dia melongo. "Demi apa lo nonton Friends lagi?"

"Iya. Lagi pengen tawa-tawa receh gitu setelah dari kemarin kerja keras bagai kuda di kantor. Makanya, maaf banget ya, Al. Next time deh, gue janji. Lagian, denger lo dapet nilai bagus aja gue udah seneng, kok. Nggak usah pakai traktir-traktir segal..."

Kata-kataku tiba-tiba terputus ketika mataku menangkap dua orang yang baru juga keluar dari lift apartemen. Mereka adalah Stefan dan Sandra. Stefan sedang sibuk dengan ponselnya, jadi dia masih belum sadar kalau aku ada di ruangan yang sama, tapi yang membalas tatapanku kini justru Sandra. Setelah peristiwa malam itu, aku belum sekalipun bertemu lagi dengan dua orang ini. Tapi sekarang, aku sepertinya tau kalau peristiwa kemarin itu ternyata menjadikan suasana di antara aku dan mereka jadi makin nggak enak. Soalnya sekarang Sandra kelihatan banget bedanya, biasanya dia pasti obral senyuman malaikatnya padaku, sekarang, dia kelihatan agak rikuh seperti tidak senang juga melihatku di sini. Berarti benar, mungkin dia dengar ucapanku yang kemarin itu. Dan kini, kami harus bertemu lagi dalam keadaan begini. Perasaan yang tinggal di gedung apartment ini buanyak banget, tapi kenapa aku harus bertemu dengan dua orang ini lagi dan lagi, sih?

The Paradox of EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang