Part 10 - Anam Cara

331 63 17
                                    

Akhirnya, kesibukanku yang teramat sangat itu berakhir dan aku bisa punya waktu luang lebih setelah hampir setiap hari pulang kantor di atas jam sepuluh untuk memanjakan diri ke salon. Dan untuk merayakan kebebasanku dari hari-hari hectic sialan kemarin, aku khusus janjian sama Rendy untuk sama-sama ke salon Sabtu ini. Biasanya sih si Ivy juga pasti ikut, cuma dia sekarang lagi jalan-jalan ke Bali sama Abram berdua. Katanya sih nemenin Abram ke nikahan salah satu sepupunya di Bali. Tapi kalau cuma ke nikahan, kenapa ke Balinya harus sampai lima hari? Kan lucu banget tuh orang berdua. Bilang aja kalau mau liburan berdua. Pakai alasan mau ke nikahan sepupu segala, tumben banget sok bersih si Ivy nih.

"Halo, eh Madam, lo di mana?" tanyaku ketika teleponku sudah diangkat Rendy.

"Gue udah di dalem Alfons, Darl. Lo dimana?"

"Oh, udah? Gue juga udah di depannya nih. Mau masuk."

"Oke. Gue mau cuci rambut dulu ya, Madam. See ya."

Setelah melakukan reservasi untuk potong rambut dan coloring bersama Tony, hairdresser langgananku, aku pun di antar masuk dan menuju ke tempat bagian keramas sehabis meletakan barang-barangku di meja sebelah mejanya Rendy.

"Heh," aku mencolek Rendy yang sedang di keramas sambil memejamkan mata.

"Halow. Nyampe juga lo."

"Iya. Macet banget, gila. Tua di jalan gue," sahutku sambil duduk di kursi keramas untuk mulai cuci rambut juga.

"Sabtu, Yuk. Orang-orang pada keluar semua."

"Ember. Terus lo mau ngapain aja sekarang, Ren?"

"Gue mau potong rambut doang paling."

"Potong doang? Lo cepet selesainya, dong? Gue kan mau color sama potong, Ren."

"Ya enggak pa-pa. Gue tungguin. Santai. Yang penting lo bayarin gue, Yuk."

Aku pun mengacungkan ibu jari. "Tenaang. Abis dapet uang lembur, jadi jajanin lo mah, kecil!"

"Asek. Hari ini hidupku bergantung padamu ya, Tante. Yaudah, Mbak, kalau gitu aku mau pake vitamin Kerastase juga, ya."

"Si anjir, Rendy. Kesempatan lo, ya. Salah banget gue bilang gitu barusan. Untung nggak ada Ivy, kalau ada, bisa bangkrut gue!"

Setelah selesai keramas, kami kembali ke kursi kami masing-masing untuk mulai dikerjakan. Rendy mulai menjelaskan model potongan rambutnya pada Dave, hairdresser langganannya. Dia katanya pengen model rambutnya yang sekarang agak gondrong dan sering di man bun itu waktu itu aku yang menyarankan soalnya terinspirasi dari model rambut Bradley Cooper di The Hangover yang saat itu lagi kugilai, dan karena Stefan nggak mungkin mau di suruh potong begitu, Rendy kena korbannya – di potong jadi model slicked back hair seperti David Beckham.

Sementara kalau aku pengen memangkas rambutku yang sudah sepunggung ini jadi model short bob seperti Lily Collins dan akan diwarna ash blode kemudian. Sebetulnya dari dulu aku itu hobi banget gonta-ganti gaya rambut, lho. Dulu bahkan aku pernah memotong rambutku jadi pixie cut seperti Carey Mulligan. Tapi ketika aku pacaran dengan Stefan dan tau kalau Stefan lebih suka perempuan berambut panjang, aku jadi memutuskan untuk berhenti gila-gilaan soal rambut dan mulai memanjangkan rambut kemudian mewarnai rambutku yang saat itu lagi berwarna coklat terang menjadi coklat tua. Bego juga ya aku dulu. Demi Stefan doang aku sampe segitunya.

Dan karena sekarang aku sudah tidak bersama Stefan, aku memutuskan untuk kembali mengubah boring hairstyle-ku yang sekarang dan menggantinya dengan model yang lebih berani dan lebih praktis sih. Capek juga panjang terus, jadinya harus rajin blow-dry. Capek. Lagian udah enggak akan ada juga yang protes kan dengan model rambutku sekarang, kan? Mau di botak juga nggak akan ada yang perduli.

The Paradox of EnamorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang