T i g a

103 11 0
                                    

Kejutan Takdir - 03

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kejutan Takdir - 03

Aku cukup sadar diri bukan si "prioritas utama". Namun, tidakkah kau berniat barang sekali saja menjadikanku "si nomor satu"? Sama seperti halnya, aku yang selalu menomorsatukan kamu di atas segala kepentinganku.

┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Saat ini, Vien tengah berada di depan koridor kelasnya, menunggu Vai yang menjanjikannya es krim hari ini. Janji itu sebenarnya sebuah pembayaran utang, karena Vai telah menjatuhkan es krim Vien tanpa disengaja saat itu. Namun, bukan Vien namanya jika tidak meminta ganti rugi, terlebih itu semua menyangkut es krim vanila favoritnya.

Vien berdiri, dan menjadikan dinding kelasnya itu sebagai sandaran. Cukup lama gadis itu menunggu, hingga pergelangan kaki gadis itu terasa pegal.

“Vai lama banget, sih,” gerutu Vien, sembari menghentakkan kakinya ke lantai sebagai bentuk kekesalannya. Vien paling tidak bisa menunggu. Ia benci dengan hal tersebut. Baginya, menunggu adalah hal paling membosankan, yang sekaligus hal paling sia-sia yang harus ia lakukan. Akan tetapi, lagi-lagi itu ialah pengecualian jika yang ditunggu Vien adalah Bhara.

Meski harus berjam-jam lamanya, Vien akan tetap kuat menunggu. Pernah sekali, Vien harus menunggu di rumah tantenya hingga 2 jam untuk dijemput Bhara. Rupa-rupanya, lelaki itu kelupaan menjemput Vien karena asyik bermain dengan benda berbentuk bola favoritnya. Apalagi, jika bukan bola voli?

Kecintaan Bhara pada bola voli memanglah besar, sehingga tak jarang Vien mengira bahwa Bhara berpacaran dengan bola tersebut.

Ya, setidaknya, Vien lebih ikhlas Bhara berpacaran dengan bola voli, dibanding dengan perempuan lain—selain dirinya.

Sorry, nunggu lama.”

Vien menoleh, dan menghela napas lega. Akhirnya, orang yang sedari tadi ia tunggu datang juga. “Lama amat, sih, Vai. Habis ngapain?”

Lelaki bernama lengkap, Valderanzo Inggaskara tersebut menyengir. “Biasalah, anak rajin, dipanggil dosen.”

Vien berdecak. Bisa-bisanya Vai mengeluarkan cengirannya. Tidakkah ia merasa bersalah telah membuat Vien menanti cukup lama?

“Ya udah, yuk, kita langsung ke kedai es krimnya. Kasihan kamu, pasti udah gak sabar.” Vai menggenggam jemari Vien, dan berjalan diikuti gadis itu. Hal itu sudah biasa dilakukan Vai kepada Vien. Vien hanya bisa memaklumi ketika Vai mengutarakan alasannya.

Takut kamu terpencar, trus hilang.”

Tidak masuk akal memang, namun, begitulah Vai. Ngomong-ngomong soal Vai, lelaki itu ialah teman kedua Vien setelah Dara di kelas, sekaligus teman lelaki kedua setelah Bhara yang lumayan dekat dengan Vien. Jika biasanya Bhara membantu Vien mengerjakan tugas di rumah, maka Vai adalah malaikat penolong Vien di kelas. Lelaki yang duduk tepat di belakangnya itu benar-benar berhati baik. Vai rela menomorduakan tugasnya, dan terlebih dahulu membantu Vien mengerjakan tugas.

Kejutan Takdir [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang