Ragu

226 25 12
                                    

Selamat Membaca...

.

.

.

Pernakah kalian merasa gundah akan sesuatu yang sebenarnya sudah pasti atau sudah kalian percayai kebenarannya? Kalau pernah, kalian pasti akan mengerti perasaan dari gadis indigo yang tengah duduk menyendiri di sebuah kafe kecil di tengah kota ini.

Himawari duduk menyendiri di sebuah kafe kecil di tengah Kota Tokyo. Di luar hujan mulai turun, sepertinya akan deras, pemandangan orang-orang yang berlarian ke sana dan kemari mencari tempat berteduh terlihat jelas di seberang etalase kaca.

Himawari memang memilih duduk di dekat etalase kaca, sengaja, ia ingin menikmati pemandangan kesibukan kota sore ini, melihat berbagai orang dengan berbagai pekerjaan dan model pakaian berlalu-lalang di trotoar jalan, juga mobil dan sepeda motor berwarna-warni yang melewati jalan depan kafe ini.

Hujan akhirnya turun, setetes hingga berjuta tetes, akhirnya awan gelap yang jauh di atas sana menumpahkan berton-ton air ke bumi, membasahi setiap sudut kota. Bersamaan dengan turunnya hujan, rasa gundah Himawari terangkat setengahnya. Udara sejuk khas musim hujan, dan bau debu yang tersiram hujan membuatnya lebih tenang.

Kemarin malam, ia dan kakaknya telah melakukan tes DNA. Ia senang akhirnya Boruto mengakuinya sebagai adik, dan juga, ia senang sebentar lagi (sah) memiliki seorang kakak. Namun meskipun begitu, entah mengapa rasa senang itu juga diikuti rasa gundah. Ia yakin dan percaya, kalau Boruto seratus persen adalah saudara kandungnya. Tapi, pertanyaan-pertanyaan bodoh itu selalu muncul entah bagaimana di kepalanya.

"Bagaimana jika dia bukan kakakku?" atau "Bagaimana kalau tes DNA ini gagal?"

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dibenaknya belakangan ini, membuat hatinya jadi merasa tak nyaman. Belum lagi mengingat fakta tentang Lucky Level kakaknya yang bernilai nihil, itu membuatnya semakin merasa pusing.

Sehari lagi ia akan menerima hasil tes DNA itu. Dia harus segera menghilangkan gundahnya.

Himawari menatap lamat-lamat kopi di cangkir itu - yang sudah di atas mejanya sejak lima menit yang lalu. Ia menarik napas panjang, lalu kemudian menghembuskannya perlahan ke arah kopi itu.

FUUUH..

Hinawari mengangkat cangkir, lalu menyeruput kopi hangat itu, menikmati aroma kopi. Setelah merasa cukup, ia kembali menaruh kopinya di meja, kembali menatap etalase kaca.

Rafleksi wajahnya terpampang samar di etalase bening itu. Himawari menatap dirinya sendiri dengan tatapan mata serius, seperti hendak berkata padanya.

Onii-chan adalah Onii-chanku, aku tidak perlu ragu lagi, semua sudah jelas, kami berkeluarga, dia kakakku, dan aku adiknya! Himawari menghela napas panjang, etalase kaca itu berembun. "Tapi tetap saja, perasaan ini... entah mengapa menggangguku."

"Siapa yang mengganggumu?"

"Bukan siapa-sia- Eh?!!" Sedang asik melamun, tiba-tiba suara seorang pria  terdengar, bertanya padanya, itu berhasil membuatnya tersentak kaget.

Himawari segera mencari dari mana suara itu berasal, menoleh ke sana-kemari. Samping tidak ada, di depan juga tidak, lalu di mana? Siapa yang berbicara padanya?

Oh, iya. Sekejap ia mengingat sesuatu, ada satu arah yang belum ia periksa - belakangnya. Himawari kemudian perlahan-lahan menoleh ke belakang, dan... aneh, tetap tidak ada siapa-siapa. Jadi, siapa yang mengajakku bicara tadi?

Himawari menelan ludahnya susah payah. Setitik keringat dingin mengalir di dahinya. Ia merasa suasana kafe ini sekarang entah mengapa terasa, errr, horror. Bagaimana tidak? Ada yang bicara, tapi tidak ada orangnya. Sedetik kemudian ia menyadari, kalau hari sudah malam, kafe juga terasa sepi, dan di luar sana lengang, orang-orang telah pergi dari jalanan, berteduh dari hujan.

Lucky LevelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang