08 : Serdadu Belanda

722 146 73
                                    

Matahari perlahan muncul, menimbulkan semburat jingga cantik. Burung - burung berkicau, hewan - hewan mulai pergi dari sarang. Sementara itu, rombongan pendaki masih tertidur pulas didalam rumah tua. Salah satu dari mereka menggeliat, mulai membuka kedua mata. Wisnu beranjak bangun, sedikit mengintip keluar, ternyata hari hampir pagi.

"Bangun, udah pagi", Wisnu mulai membangunkan semua orang. Memang tidak mudah untuk membangunkan pria - pria tukang tidur. Beberapa masih duduk diam mengumpulkan nyawa. "Huoam" Bima menguap lebar, malam ini ia tidur cukup nyenyak. "Disini ada sumber mata air gak?" tanya Yudha setelah mengumpulkan nyawa.

"Gak tau" jawab Juan kebetulan berada didepan Yudha. Juna mengangkat bahu ketika pandangan mata Yudha menuju kearahnya. "Mas Angga tau gak?", Angga menggeleng "Kayaknya sih gak ada".

"Asli badan gue gatel semua pengen mandi" keluh pria berdarah Jepang itu.

"Sama. Gara - gara debu nih" sahut Mahen sambil menggaruk - garuk badannya. Biasanya saat mendaki mereka memang tidak mandi. Itu memang hal yang lumrah bagi seorang pendaki karena mana ada wc umum diatas gunung. Namun kali ini, tubuh mereka semua benar - benar lengket dan gatal.

"Tahan dulu, tujuan kita sekarang gimana caranya temuin jalan buat sampai keatas puncak" sela Wisnu. "Iya paham. Tapi ini beneran gatelnya gak nahan" timpal Yudha.

Di sisi lain rumah, Angga dan Bima sedang berkeliling. Mereka berdua mencoba mencari sumber air. "Ini rumah gak ada kamar mandinya?" celetuk Bima. Pasalnya semua rumah pasti punya kamar mandi bukan walau ditengah hutan sekalipun.

"Gue rasa, dulunya ini bukan rumah deh" ujar Angga dengan suara cukup lirih. Bima menoleh, menatap Angga yang tengah memandang sesuatu.

Bima mendekat, "Sial. Pantes gak ada kamar mandi". Kini didepan Bima dan Angga, terdapat beberapa alat pasung, tali tambang tebal, rantai berkarat, serta tulang belulang manusia. Pokoknya alat mengerikan untuk menyiksa orang.

"...." Bima speechless, "Cabut sekarang. Buruan!". Segera mereka berdua berlari pergi dari ruangan itu. "Jangan kasih tau yang lain" pinta Angga. "Lho? Kenapa?,", Angga diam beberapa saat, "Lo gak inget gimana penakutnya mereka semua. Gue gak mau mereka jadi panik karena tempat tadi". Bima setuju, jika bercerita itu hanya memicu ketakutan.

"Habis dari mana kalian?", baru saja tiba, Bima dan Angga sudah di interogasi.

"Coba cari sumber air, ternyata gak ada" jawab Bima tanpa menceritakan kejadian tadi. "Mana yang lain? Kenapa cuma tinggal kalian berempat?" tanya Angga.

Juan menunjuk kearah rimbunnya hutan, "Lagi pada pergi cari air juga". Angga mengangguk, kemudian ikut duduk di sebelah Dimas. Mereka berenam berbincang santai di teras rumah. Membicarakan hal - hal random sekaligus menunggu lima orang lain yang sedang pergi mencari air untuk bekal perjalanan.

⛰️⛰️⛰️

Kini Haikal, Wisnu, Juna, Yudha, dan Rendi tengah sibuk membabat tanaman - tanaman guna membuka jalan. Mereka sibuk menyusuri hutan demi menemukan air. Suasana cukup sunyi, hanya suara serangga jangkrik yang memenuhi pendengaran. "Merinding gue" bisik Haikal di sebelah Wisnu.

"Merinding kenapa?", Haikal semakin menguatkan genggam tangannya pada baju Wisnu. "Gak tau, rasanya kayak ada yang ngikutin kita". Wisnu diam, bingung harus merespon seperti apa. "Perasaan lo aja itu" Wisnu berusaha membuat Haikal tidak berfikiran aneh - aneh.

Krek

Suara tangkai kayu yang patah membuat mereka berlima menoleh kearah yang sama. "Apaan itu?" gumam Haikal semakin gelisah. "Paling kelinci atau babi hutan" sahut Yudha sambil menepuk pipi lantaran banyak nyamuk.

Merapi [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang