13 : Kampung Mati

633 140 43
                                    

Sejak subuh rombongan Angga sudah berangkat turun dari pos 1. Kabar baik, Haikal sudah mampu berjalan meski kondisinya belum benar - benar membaik. Dibantu Dimas, Haikal berjalan perlahan - lahan melewati jalan terjal.

"Hati - hati Kal", Dimas tidak bosan mengingatkan Haikal untuk selalu waspada.

"Ini kalo kita ketemu barong sekarang, dahlah pingsan aja gue. Mana disini gak ada yang bisa bela diri lagi, apalagi pakai ilmu gaib" ucap Mahen dengan wajah frustasinya.

Angga menghela nafas, ia benar - benar merasa bersalah. Kalau saja ucapan Rian waktu itu tidak ia abaikan. Pasti kini rombongan yang ia bawa tidak bernasib begini.

"Udah mas Angga, jangan terlalu dipikirin. Kita gak papa", Bima berujar sambil menepuk bahu Angga.

Dari kemarin Angga terlihat muram, Bima tahu bahwa pria itu merasa bersalah. Tapi tidak baik juga jika terlalu dipikirkan, nanti yang ada menganggu kesehatan.

"Seharusnya kalau udah dari pos 1, gak lama kita sampai ke jalan aspal. Cuma ini kita kayak muter - muter ditempat, ya?" tanya Yudha, hatinya mulai tidak enak lagi.

Jika dari pos 1, tidak butuh waktu lama mereka harusnya sudah sampai dijalan beraspal yang berada ditengah - tengah hamparan rumput hijau. "Jangan bilang ke ulang lagi"

Bugh

Angga meninju batang pohon kuat sampai jari - jarinya lecet. "Sialan!" umpatnya kesal. "Harusnya gue dengerin peringatannya Rian. Kalau aja waktu itu gue gak egois. Pasti kalian semua gak bakal susah kayak gini".

Mereka semua diam, bukan karena kemarahan Angga. Melainkan karena ini kali pertama mereka melihat sosok paling kuat disini menangis untuk pertama kalinya.

"Gak sepenuhnya salah lo juga mas, kan kita sendiri yang mau ikut sama lo. Jadi berhenti ngalah diri sendiri" kata Juan lalu memeluk Angga.

"Sekarang kita fokus cari jalan keluar aja. Kalau bisa, sebelum tanggal 13 suro kita semua harus udah keluar dari gunung ini" tukas Yudha menyadarkan mereka semua pada tujuan awal.

"Kita lanjut perjalanan mas Angga. Udah jangan dipikirin, semangat dong", tepukan dipundak dan kata semangat dari Bima cukup membuat Angga meras lebih baik.

Rombong kembali melanjutkan perjalanan. Meski kaki sudah terasa pegal, meski perasaan berkata bahwa mereka melewati jalan yang sama. Angga tidak menyerah begitu saja seperti kemarin.

"Itu gubuk?" kata Juan ketika pandangan matanya tidak sengaja menangkap siluet bangunan tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Gak cuma satu, ada banyak gubuk" lanjut Juan menunjuk satu persatu gubuk yang mulai terlihat.

"Itu mirip perkampungan" timpal Haikal setelah mengamati lebih lama.

"Mau lihat ke sana?" tanya Yudha, pandangan mata Mahen tampak ragu.

"Gak usah deh, takut kayak kemarin" ucapan Mahen memang benar. Tapi rasa penasaran yang besar membuat mereka semua–kecuali Mahen tentunya– ingin menuju ke sana.

"Enggak ada salahnya di cek dulu. Siapa tahu ada penghuninya", Bima percaya diri. Berharap ditempat itu benar ada yang menghuni.

Mereka lantas menuju ke kumpulan gubuk tadi. Tempat itu mengerikan, rumah dari kayu yang sudah usang, sarang laba - laba dimana - mana, serta puing - puing bangunan berserakan seperti menunjukkan bahwa tempat ini dulu pernah terjadi sesuatu yang tidak biasa.

"Ini perkampungan mati, gak ada penghuninya lagi", Dimas menyimpulkan begitu cepat begitu ia melewati gapura selamat datang dengan tulisan yang sudah tidak jelas.

Merapi [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang