14 : Eyang

390 100 34
                                    

"Gede juga ternyata" gumam Dimas begitu ia menginjakkan kaki didalam rumah. Tempatnya cukup besar, tapi tidak banyak perabotan. Hanya ada dua kursi, satu meja kecil, lemari kayu dipojok ruangan dan sebuah tempat tidur. Tidak ada kamar?

"Itu, kain apaan?" tanya Haikal menunjuk sebuah kain lusuh yang tergeletak di bawah. Yudha mendekati tempat dimana kain itu berada, ia memandangi lamat - lamat. "Bukan kain apa - apa".

"Jangan di pegang - pegang, balikin ketempat nya cepet!" sahut Dimas tidak ingin menatap kain itu lebih lama.

"Setahu gue, enggak ada informasi tentang desa di atas gunung Merapi" ujar Juan, "Kalau misal ada harusnya udah jadi perbincangan para pendaki" lanjut Juan.

Cukup mengherankan memang, mereka sama sekali tidak tahu tentang desa ini, padahal gunung ini sangat terkenal.

"Biasanya juga kalau ada situs atau bangunan lama, penjaga dibawah pasti kasih tahu kita. Kemarin mereka diem aja, gak ngebahas apa - apa" sahut Haikal.

Kalau dipikirkan lebih dalam. Ini cukup tidak masuk akal, sebuah desa lama di atas gunung yang bahkan penjaga basecamp tidak membicarakannya.

"Oh iya, gue baru inget. Kemarin sebelum berangkat, bukannya petugas kasih kita tiga HT. Ada yang bawa?" tanya Angga baru ingat jika mereka memiliki HT. Mereka membuka tas masing-masing. Menggeleng, tidak ada dari mereka yang memiliki HT.

"Bima, lu kan salah satu yang terima HT. Kemana itu HT'nya?", Bima menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia kikuk dihadapan Yudha.

"HT'nya ada kok, gue taruh di tas kecil" jawab Bima gugup. Yudha mengernyitkan dahinya. "Ambil lah, mana tas lu?", Bima mengigit kuku-kukunya.

"Anu, itu, emm, tasnya, ada kok, ada", Yudha sudah merasa ada yang tidak benar.

"Jawab yang bener Bim!" kesal Dimas, karena HT itu kini menjadi harapan hidup mereka.

"Tasnya ada sama mas Tio" kata Bima dengan nada lirih. Yudha menepuk jidatnya, "Kok lu kasih Tio tasnya? Gimana sih Bim!" gemas Yudha, rasanya ia ingin menghajar Bima sekarang juga.

"Waktu di perjalanan, gue main gunting batu kertas. Karena mas Tio kalah, gue suruh dia bawa tas gue. Ya mana gue tau kalau kita bakal sial kayak gini" jelas Bima, kepalanya menunduk tidak berani menatap teman - temannya.

"Sumpah, gue pengen banget nonjok muka lu!" geram Dimas.

Angga mengusap wajah kasar, HT yang seharusnya bisa menyelamatkan mereka, ternyata tidak ada. Berlama - lama disini juga tidak baik, desa ini sangat aneh.

"Udah gak usah berantem lagi. Kita keluar sekarang, lanjut perjalanan keburu malam" ujar Angga lalu berbalik badan hendak keluar rumah.

Namun, belum sempat mereka berjalan dua langkah. Pintu rumah dibuka lebar, kabut masuk kedalam rumah. Diluar tenyata kabut sudah mengepung, bahkan mereka tidak bisa melihat keluar dari dalam.

Tidak lama setelah pintu terbuka, muncul seorang kakek tua, jenggotnya panjang, rambut ubannya diikat kuncir kuda, ia memakai blangkon, bajunya lurik khas Jawa, berjalan dibantu sebuah tongkat dengan ukiran naga. Serta dibelakangnya ada Mahen yang membawa keranjang berisi ubi.

⛰️⛰️⛰️

"Ubinya enak, akhirnya gak makan mie terus" ujar Haikal sangat senang.

Kini mereka tengah melahap sepotong ubi rebus. Mereka masih ada di rumah tua itu, duduk melingkar, mereka sedang berbincang bersama Eyang. Kakek tua yang datang bersama Mahen.

Merapi [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang