"Masuk EC?"
"Iya, disuruh nenek."
"Bukan mata-matain gue kan?"
"Enggak, lah.."
Gadis pemilik eye smile itu memicing curiga. Dari semua yang ada di dunia, Bara yang mengikuti jejaknya masuk Bayanaka bahkan club english itu berada di list pertama dengan tanda tanya, mengapa?
Mengapa anak ini masuk Bayanaka sedangkan om Bian dokter? Mengapa nenek membiarkannya sedangkan ia tak boleh?
Pemuda dengan surai berantakan sedikit coklat itu tersenyum canggung. Mengalihkan atensi gugupnya dari Sanjung.
"Lo tau kan privasi?"
Bara mengangguk.
"Gue gak suka lo ada di sekitar gue. Entah sekolah atau club, gue gak bisa. Terlepas dari lo sepupu gue, tapi adanya lo di sekitar gue bikin parno banget, sumpah."
"Gue beneran gak dalam niat buruk dan maksud tertentu kak, gue masuk Bayanaka murni karena pengen ngikutin jejak mom jadi presenter. Dan EC, gue pikir bahasa penting banget apalagi gue anak Broadcast?"
Sanjung mengangguk paham. Walau matanya masih memancarkan ketidak nyamanan dan curiga.
"Tolong jangan lapor apa-apa sama nenek tentang gue di sekolah, gue dan mama udah cukup sulit dengan semua laporan papa lo itu. Gue mohon,"
Niatnya berdiam hingga pelajaran Bu Aini selesai gagal total. Nyatanya, di ruang club english lebih tidak nyaman.
"Kalo gitu gue balik kelas, gue mohon sekali lagi, jadi Bara yang baik, ya? Diem-diem aja. Gue lagi berusaha jadi Sanjung yang gak ngecewain."
Bara mengangguk mantap. Ia melihat Sanjung melenggang secara perlahan.
"Maaf, Sanjung. Tapi dengan gue ngikutin apa yang nenek mau, gue bisa lebih tinggi dari lu dan teh Mei."
Selain anggukkan nya, tentu saja niat dan tekadnya pun mantap.
~
Bel berbunyi berbarengan dengan Sanjung yang sampai di muka pintu. Ia lupa juga tadi meninggalkan tas nya di depan kelas maka ia dengan sigap mengambilnya, memeluknya hingga bel selesai dan Bu Aini keluar.
Selang beberapa menit pintu terbuka, menampilkan sosok galak yang kini dipenuhi kerutan tanda semakin tua.
"Padahal saya manggil dari tadi, loh. Kamu kemana? Kabur ya?"
"Baru aja keluar dah curigaan." Gumam Sanjung kesal.
"Apa?"
"Habis dari toilet Bu, kebelet."
Bu Aini hanya mengangguk. Dengan sepatu yang meninggalkan jejak suara ia pergi dari hadapan Sanjung.
Baru saja menghela nafas lega karena bisa masuk ke kelas, panggilan Bu Aini kembali membuat Sanjung kesal. "Terus apa?"
"Ya kenapa Bu?"
"Karena kamu hari ini dapat tabel kosong dan nilai praktek gak ada, saya kirim tugas lewat email. Tolong di cek dan dikumpulkan secepatnya. Terima kasih."
Faaakkkk!!!
Sanjung berbalik dengan mood yang lebih buruk. Bisa-bisanya ia mendapat tugas padahal beliau yang melarangnya masuk. Tolong kepada bapa kepala sekolah bu Aini keluarkan saja. Meresahkan!
"Kenapa?" Tangan Harum masih berjibaku dengan sisa bumbu tapi fokusnya tak teralih dari Sanjung. Bagaimana teralih, muka kusut dan bibirnya yang maju itu sangat tidak bisa untuk dilewatkan.
"Rum, gak peka banget. Ini pasti abis ketemu Cakra kan? Mangkanya bad mood? Ngaku cepet atau gue jadiin tumbal sekte!"
Harum memukul mulut Embun reflek. Kenapa? Ya bisa-bisanya dia ngomongin tumbal sekte di sekolah?! Kalau ada yang denger kan bisa salah paham dan nyangka kalau mereka bertiga itu pengikut ajaran sesat.
"Sakit banget, Rum. Sumpah!"
"Mangkanya ngomong tuh di filter."
"Tuhan itu maha adil, dikasih cantik, kaya, otak nya engga ada, ckckck."
Mata bulat Embun semakin membulat. Mendramatisir keadaan yang sebenernya sudah penuh drama.
"Kalian kok jahat banget ngomong nya?"
Harum menghembus nafasnya. Tak berniat menjawab. Begitu pula Sanjung, yang kini fokus berpikir mengenai Bara. Apa mamanya harus tau jika Bara masuk EC juga? Ah mungkin tidak usah, lagipun ia sudah berniat berhenti. Nenek kembali meneror mama dengan menagih nilainya naik di semester ini. Sangat memusingkan. Dan lagi...
Brak...
Harum dan Embun sukses melonjak terkejut.
"Apa banget deh!"
Tentu saja Embun yang pertama berteriak.
"Apron gue woy apron gue mana? Hiks... Nangis ajalah gue, mana apron kesayangan banget dah nemenin lomba kesana kesini."
Harum sudah selesai beberes. Lalu mengambil duduk nyaman di samping Sanjung.
"Terakhir liat dimana? Kita cari barengan."
Embun pun sudah selesai. Kini duduk berbalik menghadap Sanjung dan Harum.
"Ini azab sih, gak ngajak ke loly." Mata bulat Embun kembali membulat. Percikan amarah keluar dari sana.
"Skip alay." Jawab Sanjung dan Harum berbarengan.
"Dahlah, Embun left the chat."
"Idih ya udah, siapa juga yang ngajak ngomong."
"Jadi, gimana? Kapan terakhir kali Lo liat apron itu?"
"Gak ingat..." Jawabnya dengan suara hampir menangis.
"Ini gawat banget sih, lo harus banget buru-buru ke kaprog. Kayaknya apron angkatan kita mau habis, kemarin gue liat."
Sanjung semakin merana. Pasalnya, apron ini bukan apron biasa. Apron ini jugalah yang mengenalkannya pada Cakra.
"Bun, bisa kali ke om simpenin apron satu? Ntar gue bilang ke mama, huhuhu.."
Harum merasa iba, maka ia menepuk-nepuk pundak Sanjung menyalurkan kekuatan.
Embun dengan sigap mengambil ponselnya, mengirim pesan singkat pada om nya yang diketahui menjadi kurikulum. Siapa tau bisa keep cepet jalur orang dalem kan?
"Sabar ya, kalo jodoh pasti ketemu." Penguat dari Embun yang juga merasa iba.
"Siap-siap, bentar lagi masuk jam kedua. Embun, jangan main hp mulu atau gue laporin om lu!"
"Idih ngaduan.."
Sanjung benar-benar merasa frustasi. Bagaimana ini? Apron nya kemana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Taste
Teen FictionSanjung gak pernah tau kalau hubungan nya sama Cakra bisa selesai gini aja, sedangkan mereka udah bersama bahkan dari semester satu. Banyak hal yang Sanjung simpan sendirian ternyata, dan alasan besar kenapa akhirnya Sanjung mutusin Cakra salah satu...