🌼┊13 ̖́-

62 13 12
                                    

Pagi di Bayanaka seperti biasa. Anak-anak konglomerat, anak-anak pengusaha hebat, atau anak-anak pemerintah setempat, berseliweran di lobby utama Bayanaka.

Sanjung salah satunya, walau bukan termasuk dalam tiga kategori tersebut. Dengan tas merah muda seperti biasa dan rambut yang kini memakai jepit mutiara tanpa bandana kesayangannya, baru saja turun dari mobil sang mama yang langsung melaju setelah melambai dan tersenyum meneduhkan.

Langkahnya pelan. Melewati kumpulan manusia yang entah karena apa mendadak tak memberi ruang untuk meninggalkan tempat.

"Ck! Pada ngapain sih?" Kesalnya sendiri. Badannya pendek, 153cm, sedangkan orang-orang disini rata-rata lebih tinggi. Belum lagi badannya mungil, ia kesulitan lewat. Sangat. Bayangkan saja!

"Ya Tuhan masih pagi tapi udah pada ghibah, ini mereka kurang kerjaan banget." Sungutnya lagi.

"Permisi! Anak kecil mau lewat!"

Sanjung menunggu sebentar. Tapi lagi-lagi tak ada yang peduli. Barangkali mereka menganggap Sanjung benar-benar anak kecil hingga tak memberi jalan.

"Permisi!" Teriaknya sekali lagi. Tetap tak di gubris.

"Permisi dong mau lewat!" Lagi. Dan hanya beberapa lirikan yang memandangnya aneh.

"Astaga! Sabar Jung, sabar!" Ia mengibaskan tangannya pada muka, bermaksud menyalurkan hawa dingin ke wajahnya yang ia yakini sudah memerah.

Sanjung itu feminim. Suka merah muda. Suka fashion. Suka masak. Suka make up. Tapi anaknya agak judes, jutek, gampang marah, dan gak sabaran. Menghadapi situasi seperti ini, tentu saja dia kesel banget.

"Woy! Kurang kerjaan apa ya masih pagi udah ghibah. Permisi dong mau lewat!" Teriaknya menggelegar. Walau badannya kecil, teriakannya bisa dipastikan sampai ujung lorong lantai satu.

Kini semua mata memandangnya. Beragam. Ada yang kesal, heran dan tak peduli. Tapi biarpun begitu, jalanan masih tertutup badan-badan tinggi mereka.

"Permisi air panas! Punten-punten!"

Tiba-tiba tangannya ditarik. Dibawa menerobos manusia yang kini bersungut karena kesal terdorong. Tubuhnya terhantuk-hantuk tubuh lain. Sakit. Tapi Sanjung harus kuat demi oksigen yang lebih bersahabat dan tidak terlambat masuk kelas.

"Awas air panas kena baju!"

"Permisi!"

Tarikannya dilepas setelah sampai di pertigaan koridor gedung utama dan jurusan. Setelah merapikan rambutnya yang acak-acakan, Sanjung mendongak, menatap lelaki yang kini tersenyum manis.

"Oh, Hangga. Thank you!" Balasnya semangat.

Hangga hanya mengangguk lalu hendak pergi tanpa berniat mengobrol sebentar pada Sanjung. Aneh.

"Hangga ih!"

Sanjung itu sangat tidak bisa diabaikan.

"Apa?" Jawab Hangga tanpa niat berbalik. Ia memilih menunduk membenarkan tali sepatu. Sanjung merasa diabaikan lagi. Maka dengan kesal ia menyusul. Berdiri di depan Hangga demi mendapat atensi.

"Hangga, Harum mana? Kok gak bareng?"

"Pemotretan. Casting. Gatau deh, sama mama." Masih dengan tangan sibuk membenarkan tali.

Sanjung jengah. Padahal diliat-liat dari sisi manapun sepatu Hangga baik-baik saja.

"Hangga Lo kok aneh banget, sih?"

Tangannya berhenti. Lalu ia bangkit seraya memandang Sanjung bingung.

"Siapa? Gue gak merasa, tuh."

Unconditional TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang