🌼┊14 ̖́-

40 12 24
                                    

Kakinya menendang-nendang batu kecil yang dekat dengan sepatunya. Menghilangkan rasa bosan sembari menunggu jemputan. Lobi penuh, sesak, maka dari itu Sanjung sengaja berdiri diluar area lobi. Bagian ini memang agak panas, tapi tidak berhasil membuatnya bergeser mencari tempat lain. Lagian, ia sudah mengabari mama jika ia berada disini.

Sebuah mobil berwarna hitam terlihat memasuki gerbang utama, menuju ke arahnya berdiri. Cukup jauh sebenarnya untuk Sanjung kenali, namun ia tau jika itu mobil om Bian, papa Bara, kakak mamanya atau.. anak kesayangan nenek?

Mobil itu berhenti tepat di depan lobi utama. Membunyikan klakson, membuat seorang pemuda berperawakan tinggi berlari keluar dari kerumunan. Untuk apa om Bian disini? Tentu saja menjemput Bara. Dan Sanjung tidak peduli. Bahkan ketika mobil itu sedikit maju dan berhenti tepat di depannya.

Kaca depan penumpang bergerak turun, menampilkan senyum Bara dan wajah tegas om Bian yang memandang tanpa minat.

"Kak, mau bareng?" Tanya Bara semangat. Senyumnya masih terlihat lebar.

Walaupun misal tidak ada lagi kendaraan di muka bumi, Sanjung lebih memilih berjalan kaki ketimbang ikut kedalam suasana canggung bersama om-nya.

Satu gelengan menjadi jawaban. Disusul suara datar khas Sanjung sebagai tolakan. "Gak, makasih, aku mau di jemput mama."

Bara sedikit cemberut, menghela nafas lalu kembali tersenyum.

"Yaudah deh, aku duluan ya? Hati-hati, kak."

Mobil itu kembali melaju, memutari air mancur lalu memasuki jalur menuju gerbang keluar.

Sanjung menghela nafas.

Dari sekian banyak sekolah swasta dan negeri bagus di Jakarta, mengapa mereka memilih Bayanaka? Sanjung sangat enggan jika harus berinteraksi dengan mereka.

Tak lama matanya menangkap pergerakan sebuah mobil putih milik mamanya, memasuki gerbang utama lalu melaju santai kearahnya. Kakinya mengetuk tak sabar, ingin segera berlindung dari sinar matahari yang menyengat. Sore ini Jakarta tetap panas seperti biasa.

Mobil putih berhenti, Sanjung dengan segera masuk ke dalam. Menghela nafas lega lalu menyapa mamanya.

"Selamat sore, mama!"

Mamanya tersenyum, mengulurkan segelas kopi dingin yang di sambut Sanjung dengan senang hati. Padahal ia tak meminta apa-apa tadi.

Mamanya memandang wajah memerah dan sedikit berkeringat milik Sanjung. Tersenyum lagi lalu menggapai anak rambut yang menjuntai mengenai dahinya.

"Kenapa?" Tanya Sanjung sebelum kembali menyedot kopinya.

"Rambutnya udah lebih panjang, mama kok gak sadar ya?"

Sanjung tersenyum. "Soalnya mama lembur mulu, sih, jadi gak engeh kan?"

Mamanya tertawa sebagai jawaban. Bersiap menyalahkan mobil lagi untuk meninggalkan area sekolah.

"Hari ini mau kemana? Mumpung mamah pulang cepet kan?"

Sanjung berfikir sejenak. "Mama pasti capek habis kerja, gak usah kemana-mana aja, kita langsung pulang."

"Ih gak papa, mama kan sengaja pulang cepet soalnya mau main dulu sama kamu. Udah lama banget kita gak nongkrong bareng gak sih?"

Sanjung tertawa. Mamanya ada-ada saja.

"Jadi?" Tanya sang mama lagi.

"Hm... " Sanjung berfikir keras ingin melakukan kegiatan apa bersama mama hari ini, kesempatan tidak boleh di lewatkan kan? Tapi seketika ia terdiam begitu ingat rencananya.

"Hmm.. cari tempat bimbel dong ma? Yang dijamin bikin masuk 3 besar, hehe."

Mobil berhenti tepat di lampu merah, membuat mamanya menoleh dengan cepat.

"Kenapa bimbel Jung? Ini udah pertengahan semester, sebulan lagi kamu penilaian tengah semester, loh."

Sanjung berusaha tetap menampilkan senyumnya.

"Justru karena penilaian tengah semester Sanjung harus ikut bimbel, ma. Terus nanti penilaian akhir semester, terus masuk semester genap, Sanjung udah kelas 12 mah, udah harus nentuin gimana kedepannya."

"Tapi rencana kita udah mateng sayang, kamu mau lanjut ke New York kan?"

Sanjung mengangguk semangat. Ia mau, sangat mau malah. Ia berusaha masuk tiga besar juga kan karena ia ingin melanjutkan kuliah tata boga nya.

"Iya ma, Sanjung mau banget, kok! Tapi kata nenek kalo Sanjung gak masuk tiga besar, Sanjung gak boleh lanjut tata boga."

Mamanya tersenyum masam.

"Kamu boleh kuliah dimana pun, jurusan apapun, terserah kamu sayang. Ini mimpi kamu, mama cuma bisa dukung."

Sanjung menghela nafas.

"Tapi nenek gak kaya mama, Sanjung gak mau kita makin berurusan sama nenek, Sanjung gak mau mama dijahatin terus, Sanjung gak mau kita di injak-injak terus, ma."

Sanjung melihat mata mamanya berkaca-kaca, membuatnya merasa bersalah. Mengapa ia selalu membuat orang-orang terdekat nya merasa sedih?

Lampu merah sudah berganti, klakson dari mobil belakang bersahut-sahutan membuat mamanya dengan sigap kembali melanjutkan perjalanan.

Suasana mobil menjadi hening, dan Sanjung dapat melihat sebulir air mata menetes sebelum akhirnya dihapus kasar oleh tangan mamanya.

"Kita makan dulu ya? Kamu pasti laper."

Sanjung hanya bergumam sebagai jawaban. Matanya tak lepas memandangi wajah sang mama. Senyum sendunya tercetak, Sanjung enggan mama sedih seperti ini.






"Makan yang banyak, anak kecil." Mama tersenyum manis ketika melihat Sanjung makan dengan lahap. Ia ingin merekam banyak-banyak bayangan Sanjung di otaknya.

"Aku udah gede, ma." Matanya memicing tak suka. Mamanya hanya tertawa.

"Mama kok gak makan?"

"Ini mama makan, kok."

Sanjung terlihat tersenyum dengan mulut penuh makanan. Membuat mama kembali tertawa.

Sanjung, anaknya, kini sudah beranjak dewasa. Pasti suaminya bangga melihat Sanjung tumbuh dengan baik.

Harusnya sang ibu melihat Sanjung dari sisi yang berbeda. Di pikir berapa ribu kali pun, Sanjung pantas diberi kasih sayang.







"Disini?" Tanya Sanjung tidak yakin. Bangunan di depannya terlihat tua dan menyeramkan.

Mamanya mengangguk mantap.

"Yap! Kata temen mama disini, anaknya disini juga soalnya. Dan kamu tau? dia sekolah di Bayanaka. Sepertinya kalian kenal?"

Bayanaka itu luas, siswanya banyak, dan Sanjung tidak mengenal hampir 75% penghuninya. Maka jika ada yang berkata 'sepertinya kamu kenal' dengan menyambung kalimat 'soalnya dia siswa Bayanaka', Sanjung tidak yakin soal itu.

Hanya saja, seorang pemuda yang keluar dari gedung tua itu membuat pemikirannya terkhianati. Waw, untuk apa—

"Hai Felix!"

—pemuda berambut blonde itu disini?

"Hallo Tante! Loh, Sanjung?!"

Felix melotot kaget, sedangkan ia memutar bola matanya malas.

Tuhan mengapa dunia sempit sekali?

_
Akhirnya kembali. Ada yang masih nunggu?

Unconditional TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang