🌼┊11 ̖́-

36 12 6
                                    

"Ini apronnya,"

Tangan dengan jam melingkar berwarna hitam itu menghentikan laju langkah Sanjung menuju rumah. Pulang.

Sanjung pikir, Cakra, seperti kali pertama bertemu dengan suara antusias yang masih terdengar. Nyatanya, bukan.

"Kok di elo?" Tanya Sanjung akhirnya. Setelah sepersekian detik melamun dan bertanya 'mengapa bisa' pada diri sendiri.

Zidan hanya tersenyum. Manis. Seperti brownies coklat kesukaannya.

"Cakra yang minta, katanya dia gak sempet dan maaf baru balikin."

Cakra yang minta. Ulangnya dalam hati. Senyum penuh rasa bersalah itu terkembang. Semarah itukah Cakra sampai tak mau bertemu? Tentu saja Sanjung, tentu saja. Bodoh.

"Thanks kalo gitu, tadi pagi gue gak bisa masuk pelajaran Bu Aini gara-gara apron gak ada, tapi its oke, yang penting balik."

Zidan mengangguk. Tapi enggan pergi memberi jalan.

Perilaku anehnya tentu saja membuat banyak tanya pada benak Sanjung mencuat.

"Kenapa?" Tanyanya akhirnya.

Zidan kembali tersenyum. Kini matanya menghilang, ditelan garis bulan yang tampil di mata.

"Lo sama Cakra... gagal CLBK ya?"

Astaga...

Sanjung pikir selama ini yang menyebalkan hanya Felix, ternyata Zidan juga.

"Bukan urusan lo!"

Bahu tegap itu di dorong paksa. Dengan langkah menggema sepanjang koridor Sanjung pergi disaksikan rasa kesalnya.

"Sanjung!" Sepersekian langkahnya kembali dipaksa berhenti. Apa lagi kali ini? Sanjung enggan berbalik lalu menatap muka songong Zidan disana. Maka ia bergeming di tempat, tanpa bersuara pun juga bersitatap.

"Nama lo cantik!"

Bolehkah Sanjung berkata jika ia akan selalu ingat Cakra?


"Gue tebak Sanjung lagi di kecengin."

"Mau mati emang si Zidan."

"Hahahaha.. lagian, kenapa gak lo aja sih, sekalian modus."

Hela nafas yang tertahan itu akhirnya keluar. Meninggalkan Felix di ujung koridor adalah pilihan selanjutnya.

"Aduh, Ra, tungguin dong!" Felix menyusulnya, tak lupa dengan suara hampir merengek yang membuat Cakra merinding.

"Geli banget anjing!"

Felix terkekeh. Setelah sampai dan berjalan beriringan menuju lapangan basket, ia memutuskan bertanya. Memangnya siapa yang ingin mati muda karena penasaran?

"Lo sama Sanjung tuh, lagi kenapa deh?"

Cakra tak berniat menjawab.

"Kalo ada apa-apa tuh, cerita. Iya gue tau gue sama Zidan itu nyebelin banget."

"Emang."

"Anjir, lo cuma jujur tapi langsung nyess gitu."

Langkah mereka sampai di lapangan basket. Sepi. Seperti hari-hari biasa ketika memang bukan jadwalnya berlatih.

Kaki Cakra dengan cepat berlari mengambil bola oren itu dan memainkannya. Mendribble dan memutar-mutar hingga ia melakukan shoot dan bola masuk pada ring.

Felix hanya memperhatikan di ujung lapangan. Sebelum akhirnya duduk di tribun paling bawah. Dengan semangat ia menyoraki Cakra.

Felix dan Zidan tak pernah memaksa Cakra bercerita yang tidak ingin Cakra ceritakan, mereka menghargai keputusan Cakra. Hanya saja, Cakra yang akhirnya selalu merasa tidak enak karena menutup-nutupinya.

Unconditional TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang