🌼┊8 ̖́-

46 13 16
                                    

"Bisa ke apartmen?"

Sekali lagi Cakra melirik ponsel menyala di genggamannya. Memastikan barangkali ia hanya halu dan terlalu delusi. Tapi tetap saja. Riwayat panggilan masuk dari Sanjung tidak hilang. Apa Sanjung benar-benar menghubunginya? Kalau iya, otomatis kontaknya sudah tidak di blokir lagi? Betapa senangnya Cakra.

Lalu Cakra menatap pintu apartment yang tak berubah dari terakhir ia berkunjung. Tangannya ragu untuk terangkat menekan bell. Barangkali Sanjung tak serius membutuhkannya dan tanpa sengaja menelponnya. Tapi, tadi Sanjung menyebut namanya! Benar-benar menyuruhnya datang. Bagaimana ini? Cakra bimbang.

Setelah lama berperangan dengan batin, Cakra akhirnya menekan bell. Ah, bahkan suaranya tetap sama.

Dengan gugup Cakra menunggu hingga pintu terbuka. Yang tak lama menampilkan gadis yang selalu menghindarinya kini berada tepat didepan mata.

Tetap seperti Sanjung yang biasanya. Yang membedakan kini matanya sembab dan kuyu, khas sehabis menangis. Lalu rambut berantakan walau masih memakai bandana. Dan muka pucat seperti orang sakit. Sanjung tak baik-baik saja. Sangat.

"Kenapa?" Tanyanya akhirnya. Ia kelewat khawatir.

"Masuk dulu," katanya. Lalu ia menggeser badan mempersilahkan Cakra masuk.

Cakra mengikuti instruksi. Melangkahkan kakinya perlahan dengan langkah pelan Sanjung yang mengikuti.

Harum strawberry tercium samar. Khas bau apartment Sanjung. Gadis itu memang menyukai hal-hal berbau manis, maka tak heran bagi Cakra yang sudah hafal.

"Mama mana?"

"Kerja, tadi di telpon bos nya. Katanya ada meeting penting."

Cakra mengangguk paham.

"Duduk, Ra."

Cakra kembali mengangguk. Duduk disalah satu sofa.

"Mau minum apa? Aku baru selesai bikin jus strawberry, mau?"

"Boleh."

"Tunggu, ya?"

"Iya."

Matanya berkeliling. Mencari kesibukan selagi menunggu Sanjung. Lalu tak lama pandangannya bertemu dengan bingkai foto yang tergeletak di sofa panjang seberang sofa yang Cakra duduki.

"Ini, papa!"

Kata Sanjung, saat pertama ia berkunjung.

"Papa Chef terkenal, Sanjung mau jadi kayak papa. Tapi nenek bilang, Sanjung harus jadi dokter." Lanjutnya lesu.

"Cakra mau jadi apa?"

Cakra tersenyum mengingat pertanyaan itu. Dulu, ia masuk animasi multimedia hanya iseng karena ia tak ingin mengambil fokus pada IPA/IPS. Tapi kini Cakra tau ia ingin menjadi apa, berkat Sanjung ia mengenali keinginannya.

"Ini," dua gelas jus diletakan pelan di atas meja kaca. Disusul piring dengan brownies cokelat kesukaan Zidan.

"Cakra minum?"

"Iya."

Sanjung mengambil duduk tepat disebelahnya, membuat jantungnya berdetak kencang seketika.

"Sampe jam berapa tadi?"

"Jam 2 atau setengah 3 lupa."

Setelah Cakra mencicipi jus, Sanjung berdeham untuk mengambil perhatian. Cakra dengan cepat menatap Sanjung.

"Sebelumnya aku gak papa, kamu gak perlu khawatir, hehe."

"Kamu habis nangis, Sanjung. Kenapa?"

Cakra melihat tangan Sanjung saling bertaut, kemudian jempolnya terus-menerus menekan sisi jari telunjuknya. Khas Sanjung yang sedang gugup dan cemas.

Tangannya tanpa sadar terulur, berniat menggenggamnya. Hanya saja, ketika jarinya sampai pada jari Sanjung gadis itu langsung menarik tangannya. Menyembunyikannya dibelakang punggung.

"Cakra gak perlu pegang tangan Sanjung, kita udah putus."

Iya, Cakra tau itu.

"Ini," tangan yang bersembunyi itu kembali keluar, bersama beberapa lembar kertas yang tak Cakra ketahui apa.

"Maafin Sanjung Cakra, papa gak salah. Papa Sanjung gak sejahat itu."

Cakra sangat tidak mengerti, maka dari itu ia mengambil kertas yang diulurkan Sanjung.

Ia.. bagaimana..

Tatapannya beralih pada Sanjung. Tajam.

"Sanjung gak bisa jelasin alasan kita putus karena ini," nadanya bergetar. Namun Cakra tak peduli.

"Maafin Papa, Cakra. Tapi Sanjung percaya itu bukan salah papa, papa difitnah." Kini ia menangis. Cakra tak suka melihat Sanjung menangis, hanya saja ia benar-benar bingung sekarang.

"Cakra gak perlu khawatir lagi sama Sanjung, Cakra gak perlu dm-dm Sanjung lagi, Cakra gak perlu berharap sama Sanjung lagi. Kita udah putus Cakra, dan ini alasannya.. hiks.. Cakra baik banget dan gak cocok sama Sanjung... "

"Maaf, ya... Kalau bisa Sanjung mau ketemu sama kakek Cakra, Sanjung mau minta maaf untuk papa."

"Sanjung.. " Cakra kehilangan suaranya.

"Iya.. hiks.. papa Sanjung yang racunin kakek Cakra sampe koma itu.. hiks.. Sanjung baru tau beberapa bulan lalu setelah Sanjung bongkar meja kerja mama. Maaf Sanjung terlalu pengecut untuk bilang sama Cakra, tapi tolong Cakra percaya papa Sanjung gak salah, papa difitnah."

Jadi chef yang meracuni kakeknya adalah papa Sanjung. Dan Sanjung? Sanjung adalah anak chef itu. Mengapa Cakra harus tau sekarang? Mengapa?

"Sanjung.. Cakra mau pulang dulu."

Sanjung mengangguk mengerti. Akan sulit untuk ia dan Cakra jika mereka tetap bersama. Sanjung dengan penyesalannya dan Cakra dengan amarahnya.

"Maaf Cakra.."

Lirihan terakhir yang ia dengar sebelum ia menutup pintu.





Setelah sampai di lobi, ia dengan segera menuju parkiran tempat motornya di simpan. Langkahnya cepat. Tangannya bergetar. Matanya panas, Ingin menangis.

Bagaimana? Bagaimana bisa Sanjung, gadis yang bahkan sampai detik ini ia cintai adalah anak dari lelaki yang dulu hampir membuatnya kehilangan kakek. Mengapa takdir selucu ini.

Dengan bergegas ia meninggalkan kawasan apartment tempat Sanjung tinggal.







Sanjung terus menerus menepuk dadanya, berharap rasa sakitnya akan hilang. Ia sakit untuk kehilangan papanya, dan ia sakit untuk kehilangan Cakra. Dulu ketika meminta putus, Sanjung bingung bagaimana mengungkapkannya pada Cakra. Sanjung tak bisa menahannya sendiri sedangan Cakra tak tau. Maka diperjalanan pulang tadi ia merenungkan untuk memberi tahu Cakra. Mengenai fakta menyakitkan ini. Mengenai alasan ia memutuskan Cakra. Cakra harus tau.

Tapi ditinggalkan Cakra seperti tadi, mengapa Sanjung tak mempersiapkan diri jika rasanya akan sesakit ini. Sanjung tak ingin kehilangan Cakra. Sangat. Tapi Cakra berhak membencinya, Cakra berhak tau, Cakra berhak pergi.

Tangannya terulur pada bingkai di sofa sebrang. Memandang laki-laki hebat yang sangat ia rindukan itu.

"Papa, Sanjung percaya papa gak salah. Tapi harusnya papa tetap hidup untuk bilang sama orang-orang kalau papa gak salah, kalau papa Sanjung ini bukan orang jahat."

Air matanya kembali menetes.

"Papa... Kemarin nenek jahat hiks... "

Tangannya bergerak cepat mengusap pipi.

"Papa... Sanjung mau jadi chef, kayak papa... "

Ia menelungkupkan kepala dengan kini memeluk papanya.

"Papa... Cakra pergi, tapi Sanjung harus kuat untuk mama kan?"


Pasti gak nge-feel kan? Hiks ya maaf aku bukan author jago:(

Unconditional TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang