Bab 20

166 32 15
                                    

***
Saran lagu starlight- chani


"Kenapa lo disini?"


Amara melirik Bintang yang duduk di kursi UKS. Setelah menyingkirkan tangan cowok itu suasana berubah canggung. Entah mengapa Amara merasa ada yang tidak beres dengan tingkah Bintang hari ini.

"Nio telpon gue suruh jagain lo." ucap Bintang tanpa menatap mata Amara.

"Dia dimana?" Bintang menghela napas. Memaksa diri untuk menatap lawan bicaranya.

"Dipanggil Pak Willy ke ruangannya." Setelah itu Amara diam. Membenarkan bantal yang menyangga punggungnya. Tatapannya terangkat, mengamati keadaan luar dari jendela.

Hujan?

Amara menarik napas. Kenapa atmosfer di sini jadi tak enak dan membuat hatinya gerah. Benar-benar canggung. Seperti ada kabut tebal yang melingkar di ruangan ini.

Sepi. Sunyi. Hampa.

Hanya terdengar gemericik air hujan yang jatuh ke tanah berulang kali mengisi heningnya situasi saat ini.

Tangannya menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya. Segera turun dari ranjang. Lebih baik dia menemui pacarnya daripada tetap di sini. Untuk bergerak pun sangat sulit apalagi berbincang ringan bersama Bintang.

"Mau kemana?" Amara yang baru jalan dua langkah lantas menoleh. Mengerutkan keningnya sejenak lalu berubah datar.

"Nyamperin Nio."

"Lo istirahat aja. Bentar lagi dia balik." Amara bergeming. Jika saja tidak secanggung ini, dia juga tak ingin pergi.

"Gapapa kok. Gue udah enakan." Bohong. Amara terpaksa berbohong kepada Bintang agar cepat-cepat hilang dari pandangannya sekilat mungkin.

"Oh. Oke," Bintang mengangguk. Menggaruk tengkuknya sembari tersenyum kikuk.

•••


"Seleksi kejuaraan taekwondo?"

"Ya."

"Kenapa saya?"

"Karena hanya kamu harapan terakhir saya. Saya terkejut sekaligus kecewa mendengar kabar bahwa tangan kanan Amara mengalami cedera."

"Awalnya saya ingin mengajukan dia sebagai peserta seleksi kejuaraan taekwondo antar provinsi tahun ini, mengingat tahun lalu dia bisa menggaet medali emas."

"Tapi karena kondisi fisik dia tidak memungkinkan untuk mengikuti kejuaraan maka saya memilih kamu."

Amara yang mulanya tersenyum kini bibirnya melengkung ke bawah setelah tak sengaja mendengar percakapan Nio dan Pak Willy dari luar.

Matanya turun, mengamati punggung tangannya yang dibalut gulungan perban. Menatap miris keadaannya yang sangat memprihatikan.

Seandainya hari ini dia nggak jatuh dan punggung tangannya nggak diinjak teman kelasnya berulang kali hingga cedera mungkin mimpi yang dia susun untuk tahun ini tak berakhir seperti ini. Tampak begitu menyedihkan.

Siapa yang akan baik-baik saja ketika berada diposisinya?

Penyembuhan tangan retak membutuhkan waktu sekitar enam sampai delapan minggu. Selama itu pula dia tidak boleh melakukan aktivitas berat supaya pemulihannya berjalan lancar.

Bagaimana dia bisa mengikuti kejuaraan taekwondo tanpa latihan fisik terlebih dahulu? Amara terkekeh. "Benar-benar menyedihkan," gumamnya memandangi sekitar. Bahkan dia tak peduli dengan bajunya yang basah karena kehujanan. Bela-belain ke sini namun justru memperparah suasana hatinya.

"Dasar bodoh!"

"Bodoh!"

Umpatnya kepada dirinya sendiri kemudian memukul kepalanya merutuki kebodohan yang dia perbuat hari ini.

Mencengkeram erat tangannya, terkepal. Satu kesalahan yang dia lakukan menggoyak lembar harapan yang dia bisikkan untuk tahun ini. Seandainya dia nggak ngeladeni Anna di lapangan mungkin tangannya nggak akan cedera dan dia bisa ikut kejuaraan taekwondo.

Mengelap sudut matanya yang dilelehi air mata menggunakan sapuan jari. "Apa? Gue nangis?" monolognya.

"Kenapa gue jadi lembek banget," kekehnya menutup wajahnya dengan satu tangan. Terisak pelan di tengah derasnya hujan. Suaranya teredam namun isakan tangis itu masuk ke telinga seseorang.




"Amara?"




Tubuh Amara menegang. Buru-buru dia mengusap wajahnya lalu berbalik. Tersenyum ceria. "Iya?" tanyanya maju beberapa langkah.

"Ngapain kesini?"

"Hah? Oh ... anu ... itu," Amara memejamkan mata. Menghela napas berat. Kenapa dia mendadak gagu di depan Nio? Tenang, ini efek kaget, bisiknya dalam hati.

Amara menggaruk kepalanya. Kesulitan membual alasan.

"Kamu nangis?" tanya Nio mendekatkan wajahnya. Mata Amara membola. Tidak siap dengan pergerakan tanpa instruksi Nio.

"Kamu nangis?" Ulangnya karena Amara hanya diam. Bibir Amara terkunci rapat bahkan menjawab iya atau tidakpun rasanya sangat sulit. Lidahnya kelu.

"Iya. Kamu nangis." Nio mengusap pipi Amara. Lalu menatap penuh selidik. Tatapannya seolah menuntut penjelasan kenapa dia menangis.

"Oh ini," Amara mengusap wajahnya. "Kena air hujan." Bohongnya.

"Kamu bisa bohongin orang lain tapi enggak denganku." Amara tertegun.

"Udah selesai?" Amara mengalihkan pembicaraan.

"Balik ke UKS yuk." ajak Amara jalan duluan. Menyunggingkan senyum sebelum berbalik. Kemudian sorot matanya meredup. Senyum hangat di wajahnya musnah. Hanya ada kesedihan abadi yang coba dia tutupi.

"Jangan bohong." Nio mengalungkan tangan di leher Amara. Memeluk gadis itu dari belakang seraya berbisik.

"Kamu nggak jago bohong." Amara menoleh. Bertemu dengan netra cowok itu dari jarak sedekat ini. Sayu dan rapuh.

"Iya aku nangis." Setelah itu tatapannya lurus ke depan. Nio hendak membalikkan tubuh Amara namun dengan sigap dicegah.

"Lima menit kaya gini, plis." pintanya mulai terisak.

Nio mengangguk. Merapatkan tubuhnya lalu sebelah tangannya juga terulur untuk merengkuh tubuh kecil Amara.
















TO BE CONTINUE....








CUMA MAU NGOMONG MULAI HARI INI AKU BAKAL KONSISTEN BUAT UPDATE TIAP HARI. TAPI JAMNYA NGGAK TENTU. KARENA MAKIN LAMA UPDATE MAKIN LAMA JUGA BUAT SAMPE ENDING:)

ADORABLE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang