Pulang kerja kali ini, gue nggak sendirian. Ada Rania, junior gue di kantor yang tiba-tiba sebelum pulang mendatangi meja gue. Dengan cengiran lebar, ia minta buat ditebengin ke rumah temennya yang satu komplek sama gue.
"Mas Sahya ganteng..."
"Nebeng dong, Mas,"
Gue yang saat itu sedang memasukkan smart tablet ke dalam tas jadi menoleh, gerakan tangan gue pun berhenti sejenak. "Ke rumah... lo?"
Bukannya apa, rumahnya dia jauh pake banget. Kalo bisa gue bilang mah, rumahnya dia ada di ujung dunia saking jauhnya dari kantor.
"Enggak, enggak. Temen gue satu komplek sama lo. Tau Jihan nggak?"
Jihan?
Jihan yang... yang... ohhh, tau.
"Jihan yang muka arab itu kan?" tanya gue memastikan.
"Nah, iya! Gue nebeng ya hehehe!"
Jelas gue nggak bisa nolak dong. Kasian anak orang kalo nggak dikasih tebengan.
Ohh, sedikit gue kasih paham, Rania ini junior gue yang paling bontot dalam tim. Masuknya baru sekitar tiga bulan lalu, tapi bisa langsung menyesuaikan dengan lingkungan kerja yang kebanyakan tiga sampai lima tahun di atasnya. Gadis ini pula yang paling getol kalo ngeceng-cengin gue tentang 'pendamping hidup' gue yang belum terlihat hilalnya.
Apakah Rania kena tegur atasan karena sifatnya yang cenderung rame itu?
Jelas enggak dong.
Karena, atasannya dia adalah bawahan bokapnya.
Iya, Rania ini anak salah satu komisaris perusahaan, otomatis gaada yang berani macem-macem sama dia. Gue juga ogah sih wkwk.
Kalo di rumah gue ada si Inez, di kantor ada si Rania. Sifatnya sebelah dua belas. Sama-sama ngeselin tapi kalo nggak ada mereka, kesannya ada yang kurang gitu.
Sampai di parkiran motor, Rania terlihat bingung dengan gue yang menyerahkan sebuah jaket hitam, dan sebuah hoodie tebal yang gue temukan dalam jok. Terima kasih nmaks yang joknya gede banget kaya bak mandi bayi, sehingga koleksi jaket dan hoodie hitam gue bisa muat di sini semua.
"Ini buat...?"
"Jaketnya buat lo tutupin kaki. Hoodienya biar lo pake, soalnya gue nggak bawa helm dua," kata gue menjelaskan.
Rania masih sempet-sempetnya bengong.
"Heh? Dipake itu jaketnya," kata gue lagi.
"Mas, di titik ini gue jadi bingung banget kenapa sampe sekarang lo masih jomblo," ucapnya pelan, membuka resleting jaket dan mengikatnya di pinggang.
"Emang kenapa?"
"Ya itu juga gue nggak tau, Mas. Makanya gue bingung, kan," jawabnya cepat. "Ganteng, tajir, eh nggak tajir juga sih, terus baik, aduh keknya yang kurang dari lo tuh cuma lo itu garing deh, Mas,"
"Udah lah, lo jadi suami gue aja," lanjutnya lagi sambil berusaha menyamankan duduk di jok belakang.
Sampe sini, ngerti kan, kenapa gue bilang Rania sama Inez tuh sebelas dua belas?
Celetukannya yang nggak bisa diprediksi itu loh.
Karena Rania anaknya emang gak bisa diem, mulai dari mulut sampe tingkahnya, jadi lah di jalan dia banyak cerita macem-macem. Tentang kucingnya lah, atau tahu tekteknya dia yang kemasukan cicak, atau bajunya yang menciut karena masuk londri. Gue bagian hah hoh aja karena nggak denger. Anginnya berisik.
Tapi dari semua cerita, yang paling gue denger sih pas dia cerita tentang dia yang merasa nggak betah di kantor.
"Emang kenapa? Nggak nyaman lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TETANGGA - SUNGJIN DAY6
ФанфикMapan, Tampan, Rumah Cicilan. Nggak papa, yang penting atas nama sendiri. - Sahya, 28thn Keseharian Sahya setelah ajuan KPRnya dikabulkan. Sekarang sedang berusaha menyesuaikan diri di lingkungan perumahan. Bismillah, semoga tetangganya nggak suka m...