2.1. : Mantenan Mantan

960 132 51
                                    

Maret, 2011


"Aku ambil di Surabaya,"

"Oh,"

Sumpah, gue nggak sengaja balas sesingkat itu. Terlampau kaget sama kalimat Amanda barusan, respon yang gue kasih cuma 'Oh' doang.

Melihat tatapan sendunya yang terangkat menatap gue, buru-buru gue melanjutkan kalimat. "Maksudku, dari dulu kan kamu maunya di Surabaya. Jauh sebelum ketemu aku,"

Gadis itu nggak membalas lagi. Yang ada malah jemarinya meremas tisu bekas, meremasnya hingga gumpalan itu makin terkoyak. 

"Hey, Sayang, liat aku,"

"Nggak papa. Kamu kejar mimpi kamu, aku kejar mimpiku. Nanti kita ketemu lagi, di sini, kalo kita udah jadi apa yang kita mau. Oke?" 

"Maaf, harusnya aku nggak nurutin apa kata Mama. Aku masih bisa ambil Nangor kalo—"

"Ssst, pemilihan tempat kuliah nggak seharusnya jadi ajang kita buat ngelawan orang tua, Man. Ikutin kata Mama kamu, ikutin kata hati kamu. Aku di sini nggak papa. Kita nggak papa," ujar gue sembari menggenggam tangannya erat.

"Janji sama aku, ya? Kamu harus jadi ibu dokter paling hebat yang pernah aku kenal. Oke?"

Gue mengangguk sekali—dua kali, berusaha meyakinkan kalo semuanya bakal baik-baik aja. Perlahan, ia kembali menarik kedua ujung bibirnya, menampilkan senyum yang dua tahunan ini jadi favorit gue.

"Good girl,"

"Lagian, di Surabaya enak tau. Rame. Danu katanya mau ambil arsi. Kipli ambil mesin. Terus kan si Faye udah keterima gizi. Oh, terus si Inez juga mau ambil kedokteran di—"

Anjir.

Timbul perasaan ingin menarik kalimat terakhir gue tadi. Nama sakral yang nggak seharusnya muncul setelah gue baruuu aja baikan (atau balikan?) sama Amanda.

"Maaf,"

"It's okay,"

"Enggak, aku beneran minta maaf," ucap gue sekali lagi.

"Nggak papa, Sahya. Kalian emang udah temenan sebelum ada aku. Harusnya aku nggak larang-larang kamu buat temenan sama dia, kan?"

Suasanya sunyi kantin di jam pelajaran kelima ini seakan mendukung diam yang menyelimuti kami. Gadis di depan gue ini menunduk, mengamati es milo dalam gelasnya, dengan tangan yang kembali terkepal meremat tisu.

"Kalo seandainya ... salah satu dari kita nggak bisa ... gimana?"

"Gimana kalo seandainya salah satu dari kita nyerah?"

Jujur, setelah insiden gue yang kepergok bolos bareng Inez beberapa pekan lalu, gue seakan nggak mendapat kepercayaan penuh lagi dari Amanda. Oke, gue ngaku salah. Bolos sekolahnya aja udah salah. Terlebih, bolos sekolah bareng temen cewek disaat lo udah ada yang punya. Di hari valentine, kalo gue boleh tambahin.

Tapi gue pikir, dengan hubungan pertemanan Inez dan Amanda yang udah saling nginep-nginepan, nggak bikin pikiran buruk bersarang di otak Amanda.

"Aku percaya kamu. Aku selalu percaya kamu. Yang nggak aku percayain itu, Inez,"

"Aku pastiin, aku nggak akan nyerah duluan,"



🏘🏘🏘



TETANGGA - SUNGJIN DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang