0.6 : Hutang Bukan Budi

717 145 13
                                    

Maret, 2021


Kata Ayah, jangan biasain ngutang.

"Ayah sama Ibu masih sanggup biayain kamu. Mau apa? Mobil? Rumah? Saham? Ayah bisa kasih. Nggak usah ngutang di tempat nggak jelas,"

Begitu gue minta mobil beneran, gue malah ditempeleng. Disuruh kerja.

"Kamu punya kerjaan sendiri kok masih minta-minta?"

Gue tau kok, itu maksudnya baik. Ngutang tuh nggak baik, lho. Gimana kalo kalian tau-tau nggak bisa bayar, dan orang yang diutangin nggak terima? Naudzubillah ya.

Tolong catat konteks utang negara itu beda dengan utang perseorangan ya.

Meskipun begitu, Ayah sendiri yang menyarankan gue untuk ambil rumah pake KPR. Emang sih, penghasilan gue mungkin bisa bikin rumah tumbuh, tapi Ayah nggak setuju dengan itu. Mending ambil yang jadi dan bagus sekalian, meskipun ada cicilan selama beberapa tahun.

Gue baca juga, kalo pelunasan kredit kita lancar, makin banyak benefit yang kita dapetin. Jadi ya why not.

Sama halnya dengan ngutang, Ibu nggak setuju kalo gue diutangin.

"Bikin kebiasaan," gitu kata Ibu waktu gue tanya alasannya. Sekali dua kali mungkin gapapa, apalagi kalo orangnya beneran butuh. Tapi kalo keterusan?

Kaya yang gue alamin belakangan ini.

Bude Sani lagi hobi minjem duit ke gue. Emang sih, nominal awalnya nggak besar. Langsung dikembalikan pula. Tapi kok belakangan ngutangnya makin intens ...

"Eeeh... Bude..."

Hal pertama yang gue lihat saat membuka pintu pagi ini adalah penampakan Bude Sani, dengan piyama terusan motif floral, atau bahasa lokalnya adalah daster bunga-bunga.

Sambil membawa rantang putih kebanggaannya, Bude Sani tersenyum sumringah.

"Pagi Mas Sahya. Udah mau berangkat kerja?" tanyanya ramah. 

Gue ikut tersenyum sambil mengangguk. "Iyaa, ini mau berangkat. Bude Sani ada keperluan apa?"

"Mas Sahya nanti makan apa? Nggak usah beli, Mas. Ini saya bawain ayam kecap. Sama ada perkedel juga tuh, sama bakwan jagung," tangannya yang mulai berkeriput menyerahkan gagang rantangnya ke tangan gue.

"Eh? Nggak usah repot-repot, Bude. Saya kebetulan nanti mau ada acara makan-makan," tolak gue halus.

"Nggak ngerepotin kok Mas. Nggak papa. Ini, ambil aja," kata Bude Sani sedikit memaksa. Mau nggak mau gue terima aja.

"Kalo gitu makasih ya Bude Sani. Nanti saya kembalikan rantangnya,"

"Sekarang aja mas ngembaliinnya,"

Kalimat Bude Sani bikin gue bingung. Lah, ini gue disuruh sekarang banget ngembaliinnya? Tapi kan pamali kalo ngembaliin tempat makan nggak ada makanannya?

"Kalo Mas Sahya nggak keberatan... anu... saya mau pinjem. Akhir bulan saya kembalikan,"

"P-pinjem apa ya?"

Dengan membuat gestur mengusap jempol dan telunjuk, gue langsung menangkap arti tatapannya Bude Sani.

Oh. Duit.

Gue meletakkan rantang di buffet samping pintu. "Saya nggak ada banyak sekarang. Bude mau berapa?"

"Lima boleh, Mas?"

"Lima?" tangan gue langsung merogoh kantong, mendapati ada 6 lembar kertas berwarna merah muda, jadi gue ngerasa tenang aja ngeluarin 5 lembarnya. Tapi gerakan itu segera terhenti ketika suara Bude Sani kembali terdengar.

TETANGGA - SUNGJIN DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang