1.1 : Merinding Disko

704 139 48
                                    


Gue nggak tau apa yang terjadi sehingga malam ini, suasananya kerasa kayak dingin banget. Pas keluar habis dari indoapril tadi sih, rasanya nggak ada angin bertiup. Siang tadi juga terik banget kok. Tapi malemnya dingin.

Apa mungkin mau ujan ya?

Segera gue cek pintu belakang yang terbuat dari kaca tembus pandang, sehingga gue bisa melihat ke area jemuran. Oke, aman. Jemuran kosong. Kalo hujan mau turun, gue persilakan.

Eh tapi jangan deng, mobil gue kemaren habis dicuci. Sayang kalo kena becekan besok.

 Sambil keluar bawa sampah dapur ke depan rumah, gue melihat bayangan tubuh tingginya Juna, yang keliatannya lagi buang sampah juga. Tapi waktu gue keluar dari pintu depan, dia malah diam bengong.

"Oi," sapa gue mendekat. Juna nggak menunjukkan reaksi apa-apa selain memutar kepalanya 45 derajat, sebelum kembali menatap gue. Lah apaan?

"Jun?"

"Oi Juna?"

Duda satu anak itu malah berjalan cepat masuk ke dalam rumah, nggak menggubris sapaan gue. Dari jarak segini gue mendengar suara pintunya ditutup agak keras. Gerakan menguncinya pun terdengar nyaring.

Rusak ya ni orang? Gue masih manusia ini bukan demit kok?

Ah, paling tiba-tiba dia denger Chava nangis kali ya, makanya langsung buru-buru masuk, batin gue dalam hati.

Nggak banyak ambil pusing, gue segera menuntaskan acara buang sampah, terus cuci tangan di keran garasi. Karena menghadap ke arah rumah, gue nggak memperhatikan apa yang terjadi di belakang, sehingga saat ada yang memanggil dari jarak dekat, guenya kaget setengah mati.

"Yah,"

"SETAN!" Gue memengangi dada, merasakan detakan jantung gak karuan melihat Inez berada dalam jarak kurang dari satu meter. "KALO JALAN ADA SUARANYA KEK!" lanjut gue berseru.

Berusaha menetralkan denyut nadi, gue menatap Inez. Bingung kenapa dia nggak bereaksi heboh kaya biasanya.

"Napa lu? Sakit?"

Tangan gue terangkat, mencoba menyentuh dahi Inez yang nggak tertutupi apapun. Namun, wanita itu malah menjauhkan wajahnya. Sebuah penolakan non-verbal.

Detik kemudian ia menggeleng singkat. "Nggak sakit,"

"Pucet lo tapi. Lupa pake lipstick?"

Lagi-lagi ia hanya menggeleng singkat. Nggak Juna, nggak Inez, orang-orang lagi pada males ngomong apa gimana sih?

"Masuk sana, udah malem. Nggak terbang lu besok?"

"Terbang,"

"Nez, jawab pertanyaan gue panjang lebar nggak dilarang kok?" tanya gue heran. "Terbang kemana besok?" lanjut gue lagi.

"Ke Jakarta,"

Tapi ini Jakarta ...

"Dari?"

"Palembang,"

Oh, apa mungkin besok dia rute Jakarta - Palembang - Jakarta kali ya?

Gue mengangguk-angguk berusaha paham. Masih dengan menatap Inez di depan, kini dia balik menatap gue. Kita jadi tatap-tatapan.

Lah?

"Ya udah sana lo masuk," ucap gue lagi, menunjuk rumahnya di sebrang dengan dagu. "Itu lampu taman lo jangan lupa dinyalain,"

"Ada tikus,"

"Hah?"

"Ada tikus,"

Alis gue mengernyit, bingung. "Tikus apa? Di paret?"

TETANGGA - SUNGJIN DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang